Tanpa terasa malam sudah larut. Satu jam lagi pergantian hari. Aku berusaha untuk tidak tertidur. Aku ingin menjadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat hari lahir pada Mas Arif.
Kupandang lekat wajah suamiku yang tengah terlelap. Hatiku yang menyimpan seonggok kesal pada sikapnya luluh jua. Rasanya tak adil bila menuntutnya seperti yang kumau. Ia tetaplah pribadi yang begini adanya, cuek. Sepertinya cinta meredam emosi yang bergejolak di dadaku.
Tepat pukul 23.58 WIB, kubangunkan Mas Arif. “Ehhhh…..!” hanya suara itu yang kudapatkan dari mulutnya. Aku berusaha membangunkannya lagi. Sampai akhirnya ia pun terbangun, walau dengan mata yang tak sempurna terbuka.
“Selamat hari lahir Masku sayang!” aku tersenyum dengan sebungkus kado.
Ia tersenyum, “Makasih de…!” jawabnya seraya mengambil kado yang kusodorkan.
Aku berharap dia akan membuka kado yang kuberikan. Namun yang terjadi jauh dari bayanganku. Tidak ada kecupan di kening. Bahkan parahnya dia kembali tidur. Sementara kado yang kuberikan ia letakkan di meja lampu yang terletak di pinggir ranjang.
“Buka kadonya besok aja ya. Ngantuk banget nieh!” ucapnya tanpa memberikan kesempatan padaku untuk mengucapkan doa yang telah kupersiapkan.
“Semoga umur Mas berkah, karir Mas menanjak, impian-impian Mas menjadi nyata!” ucapku dalam hati.
Akhirnya air mataku tak dapat dibendung. Hatiku terasa perih. Ingin rasanya menjerit mengungkapkan kesal yang menyesakkan dada. Tapi aku tak mungkin melakukan itu, kasihan juga bila harus membuat suamiku tak tidur. Perjalanan Jakarta-Tangerang sekedar untuk menjemput rezeki memang cukup melelahkan. Biarlah perih ini hanya aku yang merasakan. Tidurku pun berurai ai mata meski tanpa isak tangis.
***
Usai shalat subuh kusiapkan sarapan ala kadarnya. Nasi goreng ikan teri kusajikan di meja. Setelah itu, aku kembali tidur.