“Iya, ga apa-apa!” jawabku seraya menyajikan secangkir teh manis hangat.
Usai Shalat Isya kami makan malam bersama. Wajah Mas Arif terlihat ceria. Sungguh rasanya senang sekali melihatnya tersenyum. Rasanya segala lelah hilang. Bahkan perih yang tadi menyerang mata pun seolah tak pernah ada.
Namun tiba-tiba perasaan indah yang kurasakan pupus seketika, “Duh…bumbunya kurang pas nieh!” komentar Mas Arif disuapan pertama.
“Maaf ya Mas! Mungkin Ade salah kasih bumbunya,” garis wajahku diliputi kekecewaan atas hasil kerjaku sendiri.
“Lain kali tomat dan asemnya dikurangi, garamnya ditambah. Keaseman nieh….!” ucapnya tak memperhatikan perubahan wajahku.
Rasanya hatiku remuk saat itu juga. Ingin sekali ia mengetahui kejadian yang kualami tadi. Ingin rasanya membeberkan perjuangan yang harus aku lakukan untuk menyajikan makanan ini.
Seketika aku teringat Yanti --teman satu angkatanku di kampus-- yang memutuskan menikah saat masih kuliah. Dia pernah bercerita kalau suaminya paling bisa menyenangkan hatinya. Bahkan Yanti yang belum bisa memasak selalu semangat untuk memasak. Pasalnya suaminya selalu memuji masakannya.
“Suamiku gak pernah meledek masakanku,” ucap Yanti, “Enak ga enak, ga diledek!”
“Kok bisa?” tanyaku dengan polos, “Cara ngebdain masakan yang enak dengan yang ga enak gimana?”
“Mudah banget. Kalo dia bilang enak sekali berarti masakanku bener-bener enak, tapi kalo cuma bilang enak berarti ada yang kurang.”
“Sama aja donk, kalo dia bilang enak tetep bikin ga puas, kan dah tau kalo enak persi dia tu kurang oke masakannya,” selorohku.