“Tetep aku seneng,” Yanti meyakinkanku, “kalo dia bilang enak pasti dia akan meneruskan dengan ngomong gini, kalo makannya bareng kamu Yank…tetep makin enak dan sedap,” Yanti tersipu.
“Kok ga makan?” Mas Arif membuyarkan lamunanku.
“Hmmm…, ga papa!” Jawabku kikuk.
“Tadi Mas salah ngomong ya?” tanyanya.
“Ngerasanya?” aku balik bertanya.
“Yah…mana Mas tau lah!”
“Ya udah kalo ga ngerasa ga perlu dibahas,” jawabku berusaha acuh dan menyembunyikan air mata yang hampir menetes.
Bukannya aku tak mau dikritik. Aku ini bukan robot yang tak punya hati. Aku ini hanya wanita biasa yang butuh diperlakukan lembut.
Malamnya aku tak bisa tidur. Pikiranku pun mulai tak karuan. Akhirnya aku membanding-bandingkan Mas Arif dengan lelaki lain.
Aku teringat Anwar, pacar temanku yang bernama Sari. Ia rela berpura-pura hobi makan perment rasa mint, hanya karena tahu Sari gemar makan perment rasa mint. Padahal sejatinya Anwar paling benci perment rasa mint. Tapi demi menyenangkan sang pacar, maka Anwar pun selalu membelikan perment rasa mint kesukaan Sari. Berhubung Sari memintanya untuk makan perment juga, jadinya Anwar ikut makan perment tersebut.
Lalu akupun ingat Defa, suami Rifka, yang bekerja di luar kota. Sesibuk apapun Defa, ia selalu menyempatkan waktu untuk Rifka, sekedar sms ataupun telepon. Bahkan bila siangnya sibuk, maka malam pun digunakan untuk bertelpon ria. Katanya agar tetap terasa dekat. Juga sebagai pengobat lelah setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan.