Empat potong kecil singkong yang dibungkus daun pisang, diletakkan di atas daun tikar pandan kecil, alas tidurku malam tadi. Tikar itu tak cukup lebar untuk menutupi tanah merah basah, yang tergesa ditutupi Bapak tadi malam dengan terpal kusam untuk menjemur kopi.
"Makanlah!"
Aku bergeming. Tangan Ibu mengambil potongan singkong yang paling kecil. Dan potongan singkong dingin itu, segera melesat senyap di mulut ibu.
"Kau tak mau? Ibu habiskan, ya?"
Tangan ibu sudah meraih potongan singkong yang paling besar. Tangan kananku segera merebutnya dari tangan ibu.
Tak banyak yang kuingat tentang peristiwa malam tadi. Aku ingat tiba-tiba tubuhku sudah berada di pelukan erat ibu yang berjalan dengan tangis tertahan. Aku juga ingat, ibu tertatih menggendongku menjauh dari rumah, menembus kegelapan malam.
Terakhir yang kuingat adalah teriakan ketakutan dari orang-orang yang berlarian tanpa arah. Akupun ikut berteriak dan sambil menangis.
Gempa! Tolong!
Gempa! Tolong!
Kulihat ibu tersenyum sambil mengusap pelan rambutku. Kugigit sedikit makanan pertama yang kupegang dengan tanganku.
"Aku mau gula aren, Bu?"
"Tak ada, Nak! Di belakang tenda, Ibu lihat ada pohon cabai rawit. Kau mau?"
***
Lais, 2007