Aku memilih diam. Cahaya lilin sudah sejak tadi pergi. Mataku singgah pada dua buah piring plastik yang berada di sebelah pecahan piring bekas lilin yang sudah padam. Dua piring itu, tadi dibawa oleh istri kepala desa.
"Mungkin itu bisa menjadi tambahan menu untuk sahur. Bilang Pak Kades, bantuan dari Propinsi baru bisa datang besok siang."
Kembali terngiang kalimat istri kepala desa, saat berpamitan pulang. Mataku menatap nanar dua piring yang berisi singkong rebus.
***
Daspetah, 2017.
Bias mentari jingga menyeruak di sela senja ramadan, menyapa pori-poriku.
Setelah sepuluh tahun. Aku kembali berdiri tegak di atas bebatuan yang mencuat ke udara. Bebatuan purba patahan Daspetah, yang diyakini sebagai pusat gempa yang terjadi pada tahun 1979.
"Hayuk pulang!"
Kupapah lembut tubuh rapuh itu menuju mobilku. Tak ada keberanianku menentang kalimat Bapak. Termasuk usai salat subuh tadi, memaksaku untuk mengantarkan beliau dari Lais ke Daspetah.
Kendaraan roda empat yang kukendarai, perlahan meninggalkan patahan Daspetah. Kulihat mata bapak terpejam, saat mobil bergerak pelan melewati Kantor Bupati Kepahiang.
"Nanti, bangunkan aku saat  waktu berbuka tiba, ya? Kukira jelang salat isya kita sampai di Lais!"
Kuanggukkan kepala, saat kurasakan bapak membuka mata dan menatapku. Mataku menatap bungkusan plastik hitam di pelukannya.