"Hampir Desember, Mas!"
Kalimatmu mengusik tatapanku pada butiran hujan di halaman. Mataku menikmati lukisan sempurna yang dititipkan Tuhan. Wajahmu.
"Kenapa?"
Tanpa jawaban. Kau memilih meraih gelas di atas meja. Mataku menjadi saksi, regukan terakhir dari dasar gelas, perlahan lesap di tenggorokanmu.
"Mas ingat, berapa Desember yang sudah kita lalui bersama?"
"Hah?"
Sepertinya, kau sudah lebih dulu tahu reaksiku, ketika kau ajukan pertanyaan itu.
Tak lagi menunggu, kau berlalu melintasi pintu ruang tamu. Meninggalkan aku. Juga bisu yang tiba-tiba bertamu.
***
"Cantik!"
Langkahmu terhenti persis di pintu ruang tamu. Tanpa aba-aba, satu kata itu mencelat dari mulutku.
Aku lupa menghitung, berapa kali mulutku melontarkan kata itu untukmu. Mataku tak pernah alpa menanti semburat merah di kedua pipimu. Biasanya, kesaksian itu berakhir, usai capit ajaib di jemarimu singgah ke lengan atau pinggangku. Dariku pujian. Darimu cubitan.
"Mas ingat baju ini?"
Satu senyuman mengiringi tangan kananmu mampir di pinggangmu. Diikuti gerak jemari di tangan kirimu terayun lentik di udara. Bak model, kau berputar setengah lingkaran di hadapku. Namun, ujung baju kurung selutut berwarna hijau pupus itu, membatasi gerak perlahan kedua kakimu.
"Ini bajuku yang kupakai saat akad nikah, Mas!"
"Eh? Akad nikah...."
Kalimatku terpenggal gagap. Rasaku berlari mengejar ingatan yang mungkin masih terpendam di otak belakang kepalaku. Isi kepalaku tergesa memijah kenangan, menyigi sketsa utuh satu hari di saat akad nikah itu. Namun, usahaku segera sia-sia.
"Lupakanlah! Hayuk berangkat!"
Satu suara dan satu kata, berhimpitan memasuki liang telingaku. Senyummu kembali bersembunyi di garis beku bibirmu.
Ingin rasanya, kuajukan sebuah tanya: Haruskah aku mengingat warna bajumu hari itu, nyaris tujuh tahun lalu, di saat aku dituntut bersaksi sekaligus berjanji untuk menjaga dan membahagiakanmu seumurhidupku?
***
Maaf, Mas. Tunggu sepuluh menit lagi, ya?
Satu pesan terpampang di layar ponsel. Jari telunjukku memilih emoji jempol sebagai balasan. Sebelum pandanganku beralih ke area parkir yang tampak sepi.
Tak banyak berubah. Tempat ini seakan menyerupai situs sejarah. Setidaknya, di area parkir ini, menyisakan jejak sejarah pergulatan rasa. Antara aku, kau, dan waktu.
"Hei! Melamun?"
Satu tepukan ringan, singgah di bahuku. Segaris senyummu melenyapkan bayangan kenangan kisah lalu.
"Masih ingat Ririn teman kuliahku, kan? Tadi Dia datang ke Butik. Memintaku menjahitkan gaun pengantin untuknya."
"Ririn yang...."
"Iya. Rupanya, Ririn sudah melupakan kisah pertunangan itu. Sekarang Dia sudah menemukan pengganti."
"Syukurlah!"
Kau tertawa, saat kuserahkan helm. Akupun tersadar, dan tak akan lupa peristiwa beberapa tahun lalu. Kau membisu di atas motor sepanjang perjalanan pulang, hingga sampai di pintu rumah. Karena aku terlupa melakukan ritual wajib darimu padaku. Memasangkan helm di kepalamu.
"Sebentar, Mas! Jangan berangkat dulu!"
Kubatalkan niat menyalakan mesin motor. Sepasang tanganmu melingkar di pinggangku.
"Mas ingat tanggal hari ini? di tempat ini?"
"Masih!"
"Apa coba?"
"Airmatamu. Padahal di matamu tak ada mata air, kan?"
Tujuh tahun lalu, tempat ini menjadi saksi. Ada beningmu, setelah kuajukan pinta, kau mau menjadi matahari untuk menemani perjalanan hari-hariku.
Kurasakan rengkuhan erat di pinggangku. Kau memilih diam, saat kunyalakan motor, juga ketika kendaraan tua itu menjauh dari area parkir. Agaknya, kau butuh menikmati damaimu sendiri.
"Kalau baju yang kupakai ini, Mas ingat?"
Satu bisikan pelan bernada pertanyaan, meluncur dari arah belakang. Persis, saat nyala lampu berwarna merah memaksa kaki dan tanganku menyentuh rem di perempatan.
Aku memilih diam. Tak ada yang bisa kulakukan jika kau ajukan pertanyaan itu. Ingatanku adalah penghuni asing, jika membahas baju dan butikmu. Itu duniamu.
"Ingat! Itu baju yang sejak pagi kau pakai, kan?"
"Maaas...."
Dua capit ajaib milikmu beraksi di pinggangku. Dan, segera berubah menjadi pelukan erat saat kulepaskan pijakan rem, usai mataku menangkap cahaya lampu hijau menyala.
***
Selain tentang baju, aku berusaha mengikuti alur ingatanmu. Tentang laju hari-harimu, tentang momen yang pernah kau lalui, atau tentang tempat yang kau singgahi. Bersamaku.
Bagimu, selain kesibukan menjahit dan menata rapi baju-baju pelanggan di butikmu, adalah penting, untuk selalu merapikan ulang ingatan.
Aku mengingat ucapanmu dulu. Usai kutemui ayah dan ibumu. Memintamu menjadi istriku.
"Aku tak takut menikah denganmu. Akupun siap, jika suatu saat harus kehilanganmu, Mas! Kau tahu yang paling kutakutkan dari semua kehilangan? Dilupakan!"
***
"Hampir Desember, Mas!"
Sejak tadi, pertanyaan itu terpasung di barisan angka, pada lembaran kalender yang tergantung di dinding ruang tamu.
Kusadari, mata matahari milikmu tak mungkin lagi menatapku. Kau telah meniti jalan sunyi, menemui Pemilik waktu.
Akupun mengerti. Tak akan mudah mengarsir bisu. Untuk melupakanmu.
Curup, 19.11.2022
zaldy chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H