Aku memilih diam. Tak ada yang bisa kulakukan jika kau ajukan pertanyaan itu. Ingatanku adalah penghuni asing, jika membahas baju dan butikmu. Itu duniamu.
"Ingat! Itu baju yang sejak pagi kau pakai, kan?"
"Maaas...."
Dua capit ajaib milikmu beraksi di pinggangku. Dan, segera berubah menjadi pelukan erat saat kulepaskan pijakan rem, usai mataku menangkap cahaya lampu hijau menyala.
***
Selain tentang baju, aku berusaha mengikuti alur ingatanmu. Tentang laju hari-harimu, tentang momen yang pernah kau lalui, atau tentang tempat yang kau singgahi. Bersamaku.
Bagimu, selain kesibukan menjahit dan menata rapi baju-baju pelanggan di butikmu, adalah penting, untuk selalu merapikan ulang ingatan.
Aku mengingat ucapanmu dulu. Usai kutemui ayah dan ibumu. Memintamu menjadi istriku.
"Aku tak takut menikah denganmu. Akupun siap, jika suatu saat harus kehilanganmu, Mas! Kau tahu yang paling kutakutkan dari semua kehilangan? Dilupakan!"
***
"Hampir Desember, Mas!"
Sejak tadi, pertanyaan itu terpasung di barisan angka, pada lembaran kalender yang tergantung di dinding ruang tamu.
Kusadari, mata matahari milikmu tak mungkin lagi menatapku. Kau telah meniti jalan sunyi, menemui Pemilik waktu.