Aku lupa menghitung, berapa kali mulutku melontarkan kata itu untukmu. Mataku tak pernah alpa menanti semburat merah di kedua pipimu. Biasanya, kesaksian itu berakhir, usai capit ajaib di jemarimu singgah ke lengan atau pinggangku. Dariku pujian. Darimu cubitan.
"Mas ingat baju ini?"
Satu senyuman mengiringi tangan kananmu mampir di pinggangmu. Diikuti gerak jemari di tangan kirimu terayun lentik di udara. Bak model, kau berputar setengah lingkaran di hadapku. Namun, ujung baju kurung selutut berwarna hijau pupus itu, membatasi gerak perlahan kedua kakimu.
"Ini bajuku yang kupakai saat akad nikah, Mas!"
"Eh? Akad nikah...."
Kalimatku terpenggal gagap. Rasaku berlari mengejar ingatan yang mungkin masih terpendam di otak belakang kepalaku. Isi kepalaku tergesa memijah kenangan, menyigi sketsa utuh satu hari di saat akad nikah itu. Namun, usahaku segera sia-sia.
"Lupakanlah! Hayuk berangkat!"
Satu suara dan satu kata, berhimpitan memasuki liang telingaku. Senyummu kembali bersembunyi di garis beku bibirmu.
Ingin rasanya, kuajukan sebuah tanya: Haruskah aku mengingat warna bajumu hari itu, nyaris tujuh tahun lalu, di saat aku dituntut bersaksi sekaligus berjanji untuk menjaga dan membahagiakanmu seumurhidupku?
***
Maaf, Mas. Tunggu sepuluh menit lagi, ya?
Satu pesan terpampang di layar ponsel. Jari telunjukku memilih emoji jempol sebagai balasan. Sebelum pandanganku beralih ke area parkir yang tampak sepi.
Tak banyak berubah. Tempat ini seakan menyerupai situs sejarah. Setidaknya, di area parkir ini, menyisakan jejak sejarah pergulatan rasa. Antara aku, kau, dan waktu.