"Hei! Melamun?"
Satu tepukan ringan, singgah di bahuku. Segaris senyummu melenyapkan bayangan kenangan kisah lalu.
"Masih ingat Ririn teman kuliahku, kan? Tadi Dia datang ke Butik. Memintaku menjahitkan gaun pengantin untuknya."
"Ririn yang...."
"Iya. Rupanya, Ririn sudah melupakan kisah pertunangan itu. Sekarang Dia sudah menemukan pengganti."
"Syukurlah!"
Kau tertawa, saat kuserahkan helm. Akupun tersadar, dan tak akan lupa peristiwa beberapa tahun lalu. Kau membisu di atas motor sepanjang perjalanan pulang, hingga sampai di pintu rumah. Karena aku terlupa melakukan ritual wajib darimu padaku. Memasangkan helm di kepalamu.
"Sebentar, Mas! Jangan berangkat dulu!"
Kubatalkan niat menyalakan mesin motor. Sepasang tanganmu melingkar di pinggangku.
"Mas ingat tanggal hari ini? di tempat ini?"
"Masih!"
"Apa coba?"
"Airmatamu. Padahal di matamu tak ada mata air, kan?"
Tujuh tahun lalu, tempat ini menjadi saksi. Ada beningmu, setelah kuajukan pinta, kau mau menjadi matahari untuk menemani perjalanan hari-hariku.
Kurasakan rengkuhan erat di pinggangku. Kau memilih diam, saat kunyalakan motor, juga ketika kendaraan tua itu menjauh dari area parkir. Agaknya, kau butuh menikmati damaimu sendiri.
"Kalau baju yang kupakai ini, Mas ingat?"
Satu bisikan pelan bernada pertanyaan, meluncur dari arah belakang. Persis, saat nyala lampu berwarna merah memaksa kaki dan tanganku menyentuh rem di perempatan.