"Kenapa tertawa?"
Lagi, liang telingaku dipenuhi tawa. Kali ini berganti nada riang. Pertanda, kau sedang merayakan sebuah kemenangan.
"Jawabanku salah?"
Tak lagi ada tawamu. Hanya anggukan pelan kepalamu. Dan, kau pasti tahu. Aku lebih memilih menunggu. Penjelasan darimu.
"Warna biru adalah titik terjauh jangkauan mata manusia, Mas."
"Hah?"
"Laut dan gunung yang jauh pun, akan terlihat biru, kan?"
Kusimak ujaranmu yang pelan dan perlahan. Namun, penuh keyakinan. Pun, tak tersedia celah bagiku untuk menyanggahmu. Sebab, pondasi keyakinan adalah kebenaran. Hanya keyakinan, satu-satunya cara yang mampu menggugat sebuah kebenaran.
"Terkadang, aku ingin tahu. Cinta Mas untukku, warnanya apa?"
Tatapanmu lekat ke mataku. Menunggu. Aku terkejut mendengar tanyamu. Mencari tahu. Tapi pikiranku terperangkap ragu.Â
Haruskah aku kembali menjawab warna biru? Atau memecah situasi pikir buntu, dengan memilih warna merah jambu?