"Kau ingin menikah dengan anakku?"
Sepasang mata lelaki tua itu menikam manik mataku. Tak ada yang bisa kulakukan, selain menunggu. Sebuah restu dari ayahmu.
"Kau benar-benar ingin menikahi anakku?"
Aku tahu, ayahmu mengulang pertanyaan itu bukan untuk menegaskan niatku. Namun, upaya terakhir ayahmu untuk meyakinkan dirinya. Sebelum melepasmu sebagai istriku.
"Dengarkan! Dalam pernikahan, yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan!"
***
Satu hari dan satu malam. Serta tiga puluh menit sebelum mengucapkan akad, perlahan aku telah membuktikan pesan ayahmu.
"Tidurlah!"
"Istirahatlah!"
'Jika tak hapal, kau boleh tulis dan baca!"
"Anggap saja sedang tes wawancara."
Kalimat bernada pesan dan saran itu tak henti berseliweran. Meluncur tanpa sekat dari mulut-mulut orang terdekat. Entah dari mulut yang belum pernah menikah, yang sekali atau dua kali menikah, hingga dari mulut orang yang berkali-kali menikah.
Mereka tak pernah tahu. Aku sedang mengajak semesta untuk memperkuat keyakinan. Bahwa memilihmu adalah keputusan terbaik yang telah kuambil. Mereka pun tak pernah tahu, butuh nyali besar bagiku memutuskan untuk menikah denganmu. Tak juga ayahmu.
"Dalam pernikahan, yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan!"