Lagi. Aku mengingat pesan ayahmu, saat keluar dari rumahku menuju rumahmu.
Adalah keberanian yang menuntun kakiku, melangkah pelan berbekal segala doa yang kuingat menjejaki pintu rumahmu. Keberanian itu juga, yang mengajak ingatanku membulatkan tekad, dan memastikan lidahku lancar saat mengucapkan akad.
Setelah itu? Hanya airmatamu, airmataku, dan airmata orang-orang yang menginginkan janji suci itu benar-benar terjadi. Tak ada butiran airmata di sudut mata Ayahmu.
Sisanya adalah seperti ucapan ayahmu. Kebodohan demi kebodohan, dan banyak lagi kebodohan terjadi dan harus dijalani.
Tak terhitung kali, kau dan aku duduk, berdiri, duduk lagi, dan kembali berdiri dari kursi pelaminan, untuk menerima tamu yang ingin menyalami. Tiga kali berjalan bolak-balik ke kamar pegantin, untuk berganti pakaian dan riasan. Kemudian terburu-buru menyelesaikan makan untuk menyenangkan dan memuaskan tatapan mata tamu dan undangan.
Tak hanya itu. Kau dan aku pun harus patuh mengikuti perintah juru potret. Berlagak bak foto model dengan pose kekinian. Terkadang berulang melakukan gaya yang sama, dengan alasan karena pakaian dan riasan yang berbeda.Â
Kau dan aku mesti tunduk pada kekuatan nada yang hanya menyebut angka:
"Satu...Dua...Tiga! Kurang senyum! Sekali lagi, ya? Satu...Dua...tiga!"
Pada akhirnya kau dan aku tahu. Hanya satu foto terbaik pilihanmu yang akan dicetak besar, diberi pigura dan dipasang di ruang tamu. Ratusan foto lainnya berdiam tenang di dalam tiga album bertulis "Foto Pernikahan".
Keberanian dan kebodohan hari itu disimpan dalam bilik khusus bernama kenangan. Kau dan aku harus bersiap menjalani banyak drama kebodohan yang lain dari pernikahan. Seperti pesan ayahmu.
***
"Enak, Mas?"