"Kau masih menikmati kebodohan dalam pernikahanmu dengan anakku?"
Aku terlalu bodoh untuk memahami arah pembicaraan ayahmu. Aku hanya mengerti, tugasku adalah mendengarkan dan menjalankan apa yang ayahmu ucapkan.
Setelah tujuh tahun pernikahan. Tak banyak yang ayahmu tanyakan tentangku, atau yang ayahmu bicarakan padaku.
Sesekali aku melihat sepasang makhluk mungil bertengkar dan saling rebutan, karena ingin memijat kaki, lengan atau bahu ayahmu. Wajah tua itu tak pernah mampu menyembunyikan bahagia. Sepertimu, yang bangga dengan kehadiran mereka.
"Ingatlah pesanku. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan. Namun berujung penyesalan. Kau jangan pernah sepertiku!"
***
Senja ini. Aku akan membiarkan airmatamu. Membasuh semua kenanganmu tentang ayahmu yang terbujur kaku di ruang tamu.
Aku akan kembali melakukan kebodohan demi kebodohan untuk mewujudkan inginmu. Agar aku menjadi figur ayah bagi anak-anakmu, seperti ayahmu padamu.
Dan, akupun akan menitipkan banyak keberanian pada rahasia semesta, biar aku tak seperti ayahmu. Itu adalah pesan terakhir ayahmu. Untukku.
Curup, 28.11.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H