"Enak, Nak?"
Ibu menatapku. Menunggu. Lidahku bersekutu dengan gigiku, memaksa perkedel jagung yang masih terasa hangat melewati tenggorokan. Akhirnya kupilih, menganggukkan kepala, dan mengajukan dua ibu jari milikku. Ibu tersenyum. Puas.
"Kau seperti ayahmu!"
Â
Aku membalas senyum ibu. Bukan tanpa alasan, melakukan itu. Aku masih mengingat percakapan dengan ayah sambil berbisik di meja makan.
"Menurutmu, sup ayam tadi asin?"
"Sedikit! Tapi bilang Ayah jangan..."
"Bagus! Kau harus mengerti. Masakan ibumu, paling enak di dunia."
Malam itu. Tiga tahun lalu. Kukira ayah sengaja menunggu ibu membawa piring kotor ke dapur. Kemudian berbisik tentang masakan ibu. Tanpa ibu.
Dan, malam itu. Adalah makan malam terakhir ayahku.
***
"Dapur adalah salah satu tempat terbaik untuk menyelesaikan masalah!"
Ibu menyerahkan kuali yang baru saja dibilas. Peralatan perang terakhir yang dicuci usai memasak perkedel jagung. Tanganku meraih kuali itu, dan mengantungkannya pada paku yang tertanam di dinding pelupuh dapur rumah.
"Jangan hanya melihat halaman yang asri dan ruang tamu yang rapi! Kau bisa menilai seseorang dari dapur. Tak perlu mewah, tapi bersih!"
Aku memilih membisu. Mataku menyaksikan tangan lincah ibu menarikan gagang sapu. Aku tak ingin menghitung, satu hari berapa kali ibu melakukan ritual dengan sapu itu. Dapur adalah daerah kekuasaan mutlak milik ibu.
***
Tak ada suara yang menjawab salamku. Dari pintu ruang tamu, kucium aroma masakan ibu. Bergegas kubawa dua kakiku menuju dapur. Ibu terkejut menatapku.
"Sudah pulang, Nak? Kenapa ibu tak..."
Kuraih tangan tua itu. Bergegas kuciumi jemari ibu. Pensiunan guru yang berjuang dan bertahan, usai kepergian ayahku. Ibu tertawa, bergegas menarik tangan kanannya.
"Bau cabai! Tadi ibu sudah..."
"Genjer dan jengkol, kan? Aku mau makan sekarang, Bu!"
"Tapi..."
Sambil mengabaikan ucapan ibu. Aku segera melangkah menuju rak piring. Kemudian ke ruang makan untuk mengambil beberapa sendok nasi, dan kembali ke dapur.
Lima tahun di perantauan. Tumis pedas sayur genjer dan sambal jengkol ikan teri masakan ibu tak tergantikan. Ibu menahan tawa sambil geleng kepala.
"Kau benar-benar mirip ayahmu!"
Kalimat ibu, mengingatkan aku kisah dulu. Berkali kulihat. jika pulang ke rumah, ayah langsung ke dapur mencari ibu.
***
Bagi ibu. Dapur adalah tempat bermeditasi. Peralatan dan gerakan saat memasak, harus berpadu dengan pikiran yang butuh konsentrasi tingkat tinggi. Jika terganggu atau keliru bumbu, maka hasilnya akan menjadi aib bagi seorang ibu.
Bagi ayah. Dapur ibu, bukan hanya tempat singgah dan tempat istirahat usai bekerja. Tapi juga muara dari rasa yang acapkali tak terucap dengan kata-kata.
"Kau lupa dapur itu kerajaan ibumu? Lain kali, jadikan ibumu sebagai ratu. Agar bahagia hidupmu."
Tangan kanan ayah mengusap kepalaku. Saat itu, aku baru saja menerima omelan ibu yang pulang mengajar. Setelah tahu, akibat ulahku yang mengotori lantai dapur ibu. Dulu.
"Nanti, jadikan menantuku seperti ratu di dapur rumahmu!"
Aku mengingat pesan ibu, dan terbata mengeja masa depanku. Ibu tak pernah bertanya padaku. Namun, dari cerita teman satu pengajian ibu. Aku tahu keinginan ibu.
Hingga waktu tak mau menunggu. Ibu pergi meninggalkan aku, meninggalkan dapur, dan meninggalkan kerinduan pada seorang menantu dan menimang cucu.
***
"Enak, Mas?"
Kau menatapku. Menunggu. Mulutku tertatih menelan potongan kecil daging, agar melewati kerongkongan. Mataku menatap Ikan gurame balado dan setengah potong daging rendang yang tertata rapi di atas meja makan. Perlahan, kuanggukkan kepala. Kau tersenyum.
"Kubeli di Rumah Makan Padang, di sebelah kantorku."
Kau menatapku. Mataku memandang potret ibu yang tergantung di belakang punggungmu.
Curup, 17.03.2021
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H