"Dapur adalah salah satu tempat terbaik untuk menyelesaikan masalah!"
Ibu menyerahkan kuali yang baru saja dibilas. Peralatan perang terakhir yang dicuci usai memasak perkedel jagung. Tanganku meraih kuali itu, dan mengantungkannya pada paku yang tertanam di dinding pelupuh dapur rumah.
"Jangan hanya melihat halaman yang asri dan ruang tamu yang rapi! Kau bisa menilai seseorang dari dapur. Tak perlu mewah, tapi bersih!"
Aku memilih membisu. Mataku menyaksikan tangan lincah ibu menarikan gagang sapu. Aku tak ingin menghitung, satu hari berapa kali ibu melakukan ritual dengan sapu itu. Dapur adalah daerah kekuasaan mutlak milik ibu.
***
Tak ada suara yang menjawab salamku. Dari pintu ruang tamu, kucium aroma masakan ibu. Bergegas kubawa dua kakiku menuju dapur. Ibu terkejut menatapku.
"Sudah pulang, Nak? Kenapa ibu tak..."
Kuraih tangan tua itu. Bergegas kuciumi jemari ibu. Pensiunan guru yang berjuang dan bertahan, usai kepergian ayahku. Ibu tertawa, bergegas menarik tangan kanannya.
"Bau cabai! Tadi ibu sudah..."
"Genjer dan jengkol, kan? Aku mau makan sekarang, Bu!"
"Tapi..."