Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kisah Mak Isah

22 Februari 2021   16:56 Diperbarui: 22 Februari 2021   18:58 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan tua (sumber gambar: pixabay.com)

Mak Isah senang menonton televisi. Perempuan tua itu membuat dan menetapkan jadwal menonton sendiri. Dari sesudah asar hingga menjelang magrib. Dan merasa beruntung, tetangganya selalu memberi izin untuk kesenangan itu.

Pernah Mak Isah melihat berita di televisi. Seorang nenek yang menghidupi diri sendiri, sebagai pemulung di Bantar Gebang. Nenek itu, bahagia menjalani masa tua dikelilingi sesama pemulung yang sudah dianggap keluarga.

Usai menonton berita itu, Mak Isah kerap kali bersyukur. Selain memiliki tetangga yang baik, saat menjalani masa tua, dirinya tak perlu menjadi pemulung. Sebab memiliki keterampilan membuat berbagai peralatan dapur dari anyaman bambu.

Nenek tua pemulung dalam tayangan itu, menjadi sosok pemacu semangat Mak Isah. Dia akan sanggup hidup sendiri, dan menghabiskan masa tua dengan bahagia. Selagi rumpun bambu di sekitar rumah masih banyak, Dia pasti mampu bertahan.

***

Mak Isah masih mengingat sebuah tayangan singkat cara bercocok tanam dari sisa bahan dapur. Dengan memanfaatkan kaleng, botol atau bekas kemasan detergen. Sejak itu, Mak Isah hobi menanam. Di depan rumah Mak Isah, dipenuhi berbagai tanaman.

Lima pot kaleng bekas, ditumbuhi batang cabai rawit yang mulai berbunga dan berbuah. Mak Isah bangga, sebab bibit cabai itu berasal dari cabai rawit sisa, dari bungkusan gorengan yang diambilnya dari rumah tetangga usai menonton.

Beberapa botol bekas dan kemasan detergen ditanami wortel, seledri, bawang daun, tersusun dan terawat rapi. Ada juga bunga kumis kucing yang acapkali dimintai orang sebagai obat. Tentu saja Mak Isah dengan senang hati memberikan.

"Rambutmu bagus, Cah Ayu!"

"Kan, pakai lidah buaya punya Mak Isah?"

Mak Isah bahagia mendengar jawaban itu, sambil membelai rambut anak kecil anak tetangga yang selalu leyeh-leyeh di pahanya saat menumpang menonton. Mak Isah menganggap lidah buaya yang sering diminta anak tetangga itu, sebagai pengganti boleh menonton televisi.

***

Pada suatu sore, Mak Isah dibiarkan menonton sendirian tayangan sebuah film dokumenter. Kisah kehidupan sehari-hari seorang lelaki tua, yang memutuskan tinggal sendiri di hutan. Memilih tinggal jauh dari anak, menantu serta cucu. Setelah kematian sang istri.

Tak ada yang bertanya, saat Mak Isah berjalan pulang dari rumah tetangga sambil menahan tangis, usai menonton film itu. Semua tahu. Mak Isah akan tersenyum bahkan tertawa jika kisah film berakhir bahagia. Mata tua itu akan berlinang air mata, jika berakhir duka.

"Bagaimana kalau lelaki itu sakit?"

"Untuk apa keluarga?"

"Bagaimana jika dia..."

Malam itu, Mak Isah tidur setelah malam begitu larut. Isi kepalanya sibuk mencari alasan yang tepat dari keputusan lelaki tua itu. Namun, saat bayangan tentang anak dan cucu lelaki tua itu hadir. Mak Isah mengakhiri bayangan itu dengan satu kesimpulan. Tega!

***

Karena rutin datang menonton, Mak Isah memiliki posisi strategis. Persis di depan televisi, di sebelah meja kecil di ruang keluarga. Mak Isah tak terbiasa duduk di kursi, dan lebih memilih duduk selonjoran di lantai.

Dengan alasan tak ingin merepotkan pemilik rumah, Mak Isah membawa bantal sendiri. Dua bantal tipis yang terbuat dari perca dan kain bekas. Dua kali seminggu, kedua bantal itu dibawa pulang untuk dijemur. Biar tak bau.

Satu minggu ini hujan seperti memiliki jadwal sendiri. Turun setelah waktu asar dan berhenti menjelang azan subuh. Membuat orang-orang enggan keluar rumah. Dan, sudah dua hari pula Mak Isah tak bertandang untuk menonton televisi.

Tetangganya mulai penasaran. Dalam dua hari ini, setiap kali menonton televisi, kedua bantal itu kosong tanpa penghuni. Tak seorang pun mau menggunakan kedua bantal itu. Semua anggota keluarga tahu, itu milik Mak Isah.

"Mak Isah, pasti menangis jika menonton berita banjir ini!"

Namun rasa penasaran itu hilang dan sedikit tenang, saat anaknya mengatakan Mak Isah terlihat baik-baik saja. Saat mengambil lidah buaya, Mak Isah masih terlihat dan tersenyum dari balik jendela.

***

Sudah dua hari, dirinya tak lagi mengeluarkan kentut. Mak Isah gelisah. Matanya menatap langit-langit kamar. Biasanya, dalam satu hari, kentut itu bisa belasan kali menemani. Terkadang berbunyi, sesekali berbau. Namun sering kali tak berbunyi dan tanpa bau.

Mak Isah menahan diri untuk tidak menonton televisi. Mesti menyimpan rasa penasaran terhadap jalan cerita sinetron favoritnya. Sinetron Ikatan Cinta. Sinetron yang mampu menggugah rasa dan kenangan semasa muda. Dulu.

Tapi, Mak Isah tak khawatir terlewatkan dua hari tayangan sinetron itu. Sejak dulu, sudah terlatih merelakan. Namun, lebih khawatir tak mampu menyembunyikan kentut yang sudah dua hari tak keluar. Dan merasa yakin, baunya pasti sangit juga angit.

Mak Isah menyesal, terlanjur percaya jika rebusan ubi jalar bisa digunakan sebagai umpan memancing kentut. Hanya kekenyangan juga kegagalan yang dialami usai menghabiskan dua piring rebusan ubi jalar.

***

Usai waktu asar tadi, mendung sudah menawarkan rintik hujan. Mak Isah bergegas datang ke rumah tetangga. Bukan untuk menonton televisi, tapi menanyakan bagaimana caranya bisa kentut. Namun, penghuni rumah hanya ada anak kecil. Pemilik rambut panjang dan hitam.

"Ayah dan ibu belum pulang?"

"Belum, Mak!"

"Lah kamu sendirian?"

"Iya. Mak temani aku, ya? Mak bebas tonton apa saja!"

Tangan perempuan itu ditarik ke dalam rumah. Ternyata, televisi sudah menyala. Mak Isah memilih tonton berita. Sambil mengambil posisi duduk di atas bantal tipis miliknya. Matanya segera menyimak tayangan berita. Anak tetangganya sibuk bermain ponsel di sampingnya.

Azan isya sudah terdengar sejak tadi. Namun belum ada tanda-tanda pemilik rumah kembali. Mak Isah tentu saja tak akan membiarkan anak kecil itu tinggal sendiri. Hampir empat jam, mata tua itu menatap layar televisi. Isinya nyaris sama. Berita banjir.

"Gusti. Aku tahu, banjir adalah musibah. Tapi, kau tahu musibah milikku, kan?"

Bibir Mak Isah bergetar dan berbisik pelan. Matanya tetap menatap layar televisi yang menayangkan genangan banjir.

Tiba-tiba perempuan tua itu merasakan perutnya sakit. Ususnya seperti melilit dengan dengan sangat kuat. Mak Isah tahu, itu pertanda musibahnya akan segera berakhir. Kali ini, hatinya yang berbisik.

"Gusti. Tolong tunda dulu! Banjir mungkin membawa aroma busuk. Tapi, kentutku pasti lebih bau!"

Curup, 22.02.2021

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun