Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kepak Sayap Putih Abu-abu [7]

31 Januari 2021   14:20 Diperbarui: 31 Januari 2021   14:32 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak lelaki (sumber gambar: pixabay.com)

Kisah sebelumnya.

"Ini lokasi rumahnya, dulu kau pernah ikut aku, kan?"

Azki menjelaskan dengan singkat lokasi rumah yang harus dituju. Ilham mengangguk paham. Kamu pasti sangat lelah! Biasanya kamu tak pernah mau kubantu. Ilham memandang Azki iba.

"Terima kasih, ya? Hati-hati!"

Ilham mengacungkan jempol. Tanpa suara langsung meraih motor. Dan lenyap dari pandangan.

Azki duduk ditumpukkan koran yang tadi disusun Ilham. Kakinya diselonjorkan. Tubuhnya disandarkan ke rak buku. Wajahnya terlihat letih. Udara panas di kios tak dirasakan.

Ya Allah...

Azki tak menyelesaikan kalimatnya. Ia tepekur diam. 

***

"Hei, bangun! Gantikan Abang!"

Azki terkejut. Mengucek kedua matanya. Terdengar suara Mang Amin mengumandangkan azan dari masjid. Azki melirik jam dinding. Setengah empat! Astaghfirullah! Aku tertidur.

Hoam! Tanpa sadar Azki menguap. Dan, segera menutup mulutnya yang terbuka lebar. Terima kasih, ya Allah! Hidup matiku hanya pada-Mu.

Azki bangkit dari duduknya. Meraih botol minuman. Menuangkan ke tangannya sedikit, digunakan untuk mengusap wajahnya.

"Aku ke masjid dulu, Bang!"

Tak menunggu jawaban Dedi. Azki meraih peci hitam yang tergantung dekat kalender. Segera menuju masjid.

***

Matahari sedikit ramah. Angin sore mengusik lembut pori-porinya. Sepertinya akan hujan. Ilham sudah pulang ke rumahnya. Magrib nanti kembali ke kios menggantikan Dedi.

Azki meraih koran. Pojok kanan paling bawah terpampang judul Tiga Emas Diraih Indonesia pada Olimpiade Fisika. Hanya tujuh kata. Namun menarik perhatian Azki. Emas? Olimpiade fisika? Luar negeri?

"Annida sudah masuk?"

Satu pertanyaan mengusiknya. Azki mengangkat kepalanya. Sosok yang begitu dikenalnya, berdiri di depan kios. Mengenakan kaos putih dan jeans biru. Tampak gagah. Pak Gatot! Wajah Azki memerah. Ingatannya kembali ke sekolah.

"Kau?"

Pak Gatot tak menyelesaikan kalimatnya. Azki masih diam. Kepalanya dianggukkan. Kaku.

"Sudah lama?" Pak Gatot tak menghiraukan sikap dingin Azki. Tatapan mata guru itu menunggu.

"Tiga tahun, Pak!"

Dahi Pak Gatot berkerut. Seolah memikirkan sesuatu. "Sejak kelas satu SMP?"

Azki tak menjawab. Wajahnya kembali kaku. Namun jantungnya berdenyut kencang. Aliran darah mengalir deras ke ubun-ubunnya.

Sudah tiga tahun, Yah! Azki hanya bisa mengulang doa yang selalu dibacanya usai sholat.

"Cari apa tadi, Pak?" Azki mengalihkan pembicaraan. Suaranya pelan. Wajahnya sedikit tertunduk.

"Annida!"

"Annida?" Azki mengulang. Sekarang dahi Azki berkerut. Pak Gatot baca Annida? Azki tersenyum geli.

"Kenapa?" Pak Gatot menatap Azki yang tersenyum lebar.

"Enggak salah, Pak? Biasanya yang beli anak perempuan,"

Azki memahami arti tatapan itu. Azki menyerahkan majalah yang diminta. Pak Gatot tersenyum sekilas. Menyerahkan selembar uang dua puluh ribu.

"Kembaliannya untukmu,"

"Tapi, Pak..."

Tangan Azki tergantung. Pak Gatot mengibaskan tangannya.

"Kios ini punya orangtuamu?"

"Punya Bang Dedi," jawab Azki singkat. Azki meletakkan uang di tangannya ke laci. Pak Gatot menarik nafas dalam.

"Bang Dedi?" Tekanan suara Pak Gatot agak keras.

"Ada apa, Pak? Saya Dedi."

Tiba-tiba Dedi sudah ada di samping Pak Gatot. Seraya mengulurkan tangannya.

"Oh, Saya Gatot. Guru Azki"  Pak Gatot menyambut tangan Dedi. Ada senyum di bibirnya. Wah! Pak Gatot manis, kalau tersenyum. Pikir Azki.

"Di SMA Bakti, ya? Kalau guru SMP Azki, saya kenal semua!"

"Iya."

"Silakan duduk, Pak!"

Dedi menyorongkan kursi yang biasa didudukinya. Gatot masih berdiri. "Azki, tolong pinjam kursi satu lagi ke sebelah!"

 

Di kios hanya ada dua kursi plastik warna biru. Tanpa suara, Azki segera meminjam kursi ke konter HP di sebelah kios. Meletakkannya persis di dekat Pak Gatot.

Azki mempersilahkan. Pak Gatot duduk di kursi yang barusan dipinjam. Azki masih berdiri, ragu. Kemudian masuk kios meraih kantong plastik hitamnya.

"Cari apa pak? Koran atau majalah?"

"Anakku Ica, pesan Annida"

"Ica? Aisyah maksud Bapak?"

Dedi meyakinkan pendengarannya. Pak Gatot tersenyum. "Saya kenal. Pakai jilbab, kan?" Dedi antusias menanggapi. Pak Gatot masih tersenyum sekilas. Azki mendengar pembicaraan itu.

Ica? Anak Pak Gatot? Bang Dedi kenal? Berjilbab?

Azki tersenyum samar.

Curup, 24.01.2021

Zaldychan

[Hari Penuh Doa]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun