"Kalau ditanya kepada anak-anak atau guru, mereka pasti pilih sekolah, kan? Tapi, korona sekarang lebih parah. Aku khawatir juga. Kemarin aku dapat info, lima orang lagi meninggal. Dinyatakan positif korona."
Suara Kak Ujang nyaris berbisik. Matanya menatap Mas Topan, yang mengangguk pelan dan agar tersamar. Setuju dengan pernyataan Kak Ujang. Hingga saat ini. data korban selalu menjadi rahasia dan dirahasiakan. Walau banyak yang membicarakan.
Dua orang satpam sekolah, bersiap sambil memegang mikropon. Memilih berdiri di sisi kiri dan kanan gerbang. Aturan sekolah, anak baru boleh keluar, jika namanya dipanggil satpam. Keduanya anggukkan kepala, sambil acungkan jempol. Mereka pasti mengingat nama anakku.
***
"Belajar apa tadi, Nak?"
"Empat pelajaran, Yah. Dua pelajaran ada PR"
"Lah? Tatap muka, masih pakai PR?"
Anakku berkicau sepanjang perjalanan pulang. Hari ketiga kembali ke sekolah dan tatap muka, adalah kebahagiaan. Aku tahu kerinduan dan keseruan pertemuan anak-anakku, yang nyaris delapan bulan hanya berinteraksi dengan ponsel.
"Yah. Bilang tadzah, minggu depan  gentian. Giliran kami yang masuk pagi. Yang laki-laki masuk siang!"
Tak bersuara, kuanggukkan kepala. Memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan. Menjelang sore, lalulintas kembali ramai.
Kubiarkan anakku, bercerita tentang teman-teman. Tentang gurunya, yang ternyata ada yang baru menikah, ada juga guru baru. Juga berkisah tentang orangtua temannya yang meninggal. Tapi Anakku tak menjawab saat kutanyakan sebab sakitnya. "Rahasia, Yah!" Â