Tak ada anak-anak yang berlarian di halaman sekolah. Â Bukan sepi. Tapi terisi oleh puluhan kendaraan roda dua dan roda empat. Beberapa wajah orangtua siswa yang kukenal, melemparkan tatapan dan anggukan.
Mungkin mereka memberikan senyuman, namun tertutup beragam bentuk masker. Atau seperti biasa, senyuman terpaksa sebagai balas sapa, karena sudah menunggu lama.
"Belum keluar, Da!"
Kalimat pendek yang tak terlalu jelas dari Mas Topan, menyambut uluran tangan kananku. Tak lagi ada bertukar salam, atau bercengkrama akrab tak berjarak. Keberadaan korona memang luar biasa. Mampu mengatur jarak sebagai garis batas antara kehidupan dan kematian.
"Uda, berapa tadi?"
"37.5!"
Mataku mengikuti pandangan mata Mas Topan yang mengarah ke gerbang. Sepertiku tadi, benda ajaib itu, diajukan ke tangan atau dahi setiap orang yang sebelum memasuki gerbang.
Semua harus patuh, atas nama menjaga protokol kesehatan. Sebagai syarat, agar sekolah boleh melaksanakan belajar dengan cara tatap muka.
"Sudah baca grup WA, Da?"
Belum sempat kujawab pertanyaan ayah Haura, yang masih berpakaian polisi lengkap itu. Kak Ujang, pemilik toko pakaian memarkirkan motor matic keluaran terbaru, di samping kiri motorku. Seperti Mas Topan tadi, aku pun mulai terbiasa menyapa dengan anggukan kepala.
***
"Serba salah, Uda! Belajar dari rumah, anak tak mengerti kalau hanya belajar dari buku. Kalau belajar di sekolah, harus dipisah berdasarkan jenis kelamin. Aku repot antar jemput. Tak mungkin istriku!"
Aku dan Kak Ujang mendengarkan Mas Topan. Pihak sekolah sudah mengatur, belajar di sekolah dibagi dua bagian. Siswa laki-laki pagi hingga pukul sebelas, yang perempuan dari pukul sebelas, pulang sesudah waktu asar.
"Aku sudah berapa kali ditegur komandan, Da!"
Haura, anak tertua Mas Topan, Â sekelas dengan anakku di kelas lima. Anak keduanya, laki-laki baru duduk di kelas satu. Anak ketiga, berusia Sembilan bulan di perut ibunya. Secara bercanda, Mas Topan pernah berujar, anak ketiga itu adalah anak korona.
Bisa kubayangkan wajah Mas Topan, sebagai seorang polisi yang dituntut disiplin tinggi, tiap sebentar meminta izin pada atasannya, dengan alasan mengantar atau menjemput anak.
"Aku sepakat jika belajar di sekolah. Nayla hampir setiap dua hari sekali, minta dibelikan kuota. Selain itu, waktu memegang ponsel juga berkurang! Gara-gara daring, Nayla keluar dari lima besar. "
Nayla anak bungsu Kak Ujang, dua anaknya yang lain sudah SMA dan kuliah. Cerita anakku, Nayla anaknya pintar. Kalau belajar selalu serius. Jago pelajaran matematika.
"Tiap hari pegang ponsel. Aku tahu, setiap pelajaran ada grup WA. Tapi anakku lebih banyak lagi! Grup les Matematika, grup karate, grup Korea. Entahlah!"
Kalimat Kak Ujang meluncur deras dan agak keras. Beberapa orangtua yang juga menunggu di atas motor masing-masing, mengarahkan pandangan pada Kak Ujang. Aku diberi tahu anakku, Haura dan Nayla penggemar grup band musik Korea.
"Mereka K-Popers, Yah!"
Dari arah kelas, terdengar koor suara siswa melantunkan doa. Pertanda, segera akan keluar kelas untuk pulang.
"Kalau ditanya kepada anak-anak atau guru, mereka pasti pilih sekolah, kan? Tapi, korona sekarang lebih parah. Aku khawatir juga. Kemarin aku dapat info, lima orang lagi meninggal. Dinyatakan positif korona."
Suara Kak Ujang nyaris berbisik. Matanya menatap Mas Topan, yang mengangguk pelan dan agar tersamar. Setuju dengan pernyataan Kak Ujang. Hingga saat ini. data korban selalu menjadi rahasia dan dirahasiakan. Walau banyak yang membicarakan.
Dua orang satpam sekolah, bersiap sambil memegang mikropon. Memilih berdiri di sisi kiri dan kanan gerbang. Aturan sekolah, anak baru boleh keluar, jika namanya dipanggil satpam. Keduanya anggukkan kepala, sambil acungkan jempol. Mereka pasti mengingat nama anakku.
***
"Belajar apa tadi, Nak?"
"Empat pelajaran, Yah. Dua pelajaran ada PR"
"Lah? Tatap muka, masih pakai PR?"
Anakku berkicau sepanjang perjalanan pulang. Hari ketiga kembali ke sekolah dan tatap muka, adalah kebahagiaan. Aku tahu kerinduan dan keseruan pertemuan anak-anakku, yang nyaris delapan bulan hanya berinteraksi dengan ponsel.
"Yah. Bilang tadzah, minggu depan  gentian. Giliran kami yang masuk pagi. Yang laki-laki masuk siang!"
Tak bersuara, kuanggukkan kepala. Memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan. Menjelang sore, lalulintas kembali ramai.
Kubiarkan anakku, bercerita tentang teman-teman. Tentang gurunya, yang ternyata ada yang baru menikah, ada juga guru baru. Juga berkisah tentang orangtua temannya yang meninggal. Tapi Anakku tak menjawab saat kutanyakan sebab sakitnya. "Rahasia, Yah!" Â
Satu belokan lagi, sampai di halaman rumah. Kulewati sebuah Rumah Makan Nasi Kapau dengan pandangan risau. Aku mengingat setiap kalimat Pak Amir, pemilik rumah makan itu siang tadi. Saat aku meminta izin mengantar anakku ke sekolah.
"Begini. Kita berdagang, tak pernah berjanji dengan pembeli. Apa jadinya, ketika pelanggan datang, kau malah pergi? Besok, istirahat dulu, ya?"
Aku beruntung mendengar keluhan Mas Topan juga Kak Ujang. Namun, aku lebih beruntung, mereka tak mendengar keluhanku.
Curup, 07.01.2021
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H