"Serba salah, Uda! Belajar dari rumah, anak tak mengerti kalau hanya belajar dari buku. Kalau belajar di sekolah, harus dipisah berdasarkan jenis kelamin. Aku repot antar jemput. Tak mungkin istriku!"
Aku dan Kak Ujang mendengarkan Mas Topan. Pihak sekolah sudah mengatur, belajar di sekolah dibagi dua bagian. Siswa laki-laki pagi hingga pukul sebelas, yang perempuan dari pukul sebelas, pulang sesudah waktu asar.
"Aku sudah berapa kali ditegur komandan, Da!"
Haura, anak tertua Mas Topan, Â sekelas dengan anakku di kelas lima. Anak keduanya, laki-laki baru duduk di kelas satu. Anak ketiga, berusia Sembilan bulan di perut ibunya. Secara bercanda, Mas Topan pernah berujar, anak ketiga itu adalah anak korona.
Bisa kubayangkan wajah Mas Topan, sebagai seorang polisi yang dituntut disiplin tinggi, tiap sebentar meminta izin pada atasannya, dengan alasan mengantar atau menjemput anak.
"Aku sepakat jika belajar di sekolah. Nayla hampir setiap dua hari sekali, minta dibelikan kuota. Selain itu, waktu memegang ponsel juga berkurang! Gara-gara daring, Nayla keluar dari lima besar. "
Nayla anak bungsu Kak Ujang, dua anaknya yang lain sudah SMA dan kuliah. Cerita anakku, Nayla anaknya pintar. Kalau belajar selalu serius. Jago pelajaran matematika.
"Tiap hari pegang ponsel. Aku tahu, setiap pelajaran ada grup WA. Tapi anakku lebih banyak lagi! Grup les Matematika, grup karate, grup Korea. Entahlah!"
Kalimat Kak Ujang meluncur deras dan agak keras. Beberapa orangtua yang juga menunggu di atas motor masing-masing, mengarahkan pandangan pada Kak Ujang. Aku diberi tahu anakku, Haura dan Nayla penggemar grup band musik Korea.
"Mereka K-Popers, Yah!"
Dari arah kelas, terdengar koor suara siswa melantunkan doa. Pertanda, segera akan keluar kelas untuk pulang.