Fahmi merasa Azki seperti pembina upacara tadi. Bicara panjang lebar dan menyangkut ke mana-mana. Suara Azki semakin keras. Mengundang perhatian siswa lain lain.
Beberapa wajah-wajah siswa kelas satu, ada yang mulai khawatir. Jangan-jangan, guru yang bernama Pak Gatot mendengar dan kembali menghukum Azki.
"Bima tubuhnya besar tinggi, bak raksasa ada kumis tebal melintang bersenjatakan kuku dan gada. Kalau di dunia nyata, kira-kira seperti Ade Rai yang juara dunia binaraga itu. Kalau di sini, mungkin sepertimu!" Azki menepuk bahu Fahmi.
"Tapi, kamu harus pakai kumisnya Pak Raden, terus pinjam jalu punya ayam jagoku. Karena gada tak ada, bawa kentongan pos siskamling juga boleh! Jangan lupa, ganti kacamatamu dengan kacamata hitam, Moy! Bakal jadi Bima Millenial. Kamu mau?"
Terdengar tawa di barisan anak kelas satu. Fahmi melemparkan pandangan kepada anak-anak yang lain. Azki yang tadi mengomentari Pak Gatot, malah mengalihkan objek pembicaraan padanya.
Fahmi diam mendengarkan. Wajahnya memerah menahan amarah. Matanya tajam menatap Azki. Tawa anak-anak masih terdengar.
"Jangan pasang muka sok serem begitu. Kamu bukannya menyerupai Bima, malah seperti Gareng!"
Mendengar kalimat Azki. Anak-anak kembali tertawa. Bahkan semakin keras, Azki kembali menepuk pundak Fahmi yang masih menatapnya. Fahmi berdiri kaku wajahnya bertambah merah. Azki pun tersadar.
"Maaf, ya? Cuma bercanda! Daripada diam berpanas-panas?" Azki mengulurkan tangan kanannya. Suaranya pelan. Wajahnya tulus. Fahmi tersenyum sekilas, dan menyambut uluran tangan itu.
"Nah! Kalau tersenyum, wajahmu seperti..."
Suara Azki nyaris berbisik. Namun enggan menyelesaikan kalimatnya, saat melihat wajah Fahmi kembali berubah kaku. Ia hanya tersenyum geli. Fahmi penasaran.