Azki anggukkan kepala. Kemudian mulai berlari mengelilingi halaman sekolah. Kedua tangannya di belakang kepala. Mulutnya komat-kamit. Dan setiap melintasi ruang guru terdengar teriakan angka.
Â
"Satu!"
"Lima!"
"Tujuh!"
"Sebelas!"
Azki masih berlari. Bahkan semakin cepat. Teriakannya pun keras dan bersemangat. Sosokya, segera saja menjadi tontonan siswa kelas dua dan tiga, beserta dewan guru yang sudah selesai melaksanakan pesta demokrasi di kelas masing-masing.
Ada yang tersenyum geli, tertawa bahkan berteriak memberi semangat. Tapi, ada juga yang terlihat iba dan kasihan. Apalagi anak kelas satu. Di benak mereka punya pendapat sama, "pagi-pagi, Mr G sudah memakan korban!"
"Dua puluh!"
Lagi, teriakan keras terdengar. Azki pun berhenti berlari.Â
Lalu berjalan pelan menghadap Mr. G. Sekali lagi anggukkan kepala. Akhirnya, berbalik badan menuju barisan anak kelas satu.
Tampak bahunya naik turun. Wajahnya memerah. Keringat mengucur deras di dahi dan lehernya. Bibirnya tersenyum, saat kembali berdiri di sebelah Fahmi.
"Lumayan! Kebetulan belum sarapan." Suara Azki terdengar di telinga Fahmi.
Fahmi diam tanpa komentar. Matanya menatap heran. "Nih anak! Dua puluh keliling halaman dibilang sarapan? Kalau aku, pasti sudah..."Â Wajah Fahmi pias. Tak mau lagi membayangkan.
"Cuma segitu, kecil!" Seakan membaca pikiran Fahmi. Azki menjentikkan jari kelingkingnya. "Yang bikin repot, harus sambil baca Sumpah Pemuda."
Fahmi tersenyum. Jadi tahu, bibir Azki yang komat-kamit tadi. Ternyata  sambil berlari, Azki diminta Mr. G membaca Sumpah Pemuda. Fahmi ingin tertawa, namun berusaha keras menahan diri.
"Kau tahu nama guru tadi Ndut? Eh, Moy?"
Wajah Fahmi mulai berubah.
"Pak Gatot! Mungkin orangtuanya mengidolakan Gatotkaca. Katanya, di sekolah, selain kepada kepala sekolah, semua anak harus tunduk kepadanya."
Azki berceloteh riang. Tak ada tanda-tanda kalau dirinya sudah berlari sebanyak dua puluh keliling halaman sekolah.
"Lucu! Wajahnya sengaja dipasang kusut. Biar terlihat angker kali, ya? Pasti orangtuanya keliru memberi nama. Gatotkaca, badannya lebih kecil dibanding Pak Gatot. Seharusnya beliau diberi nama Bima, bapaknya Gatotkaca."
Fahmi merasa Azki seperti pembina upacara tadi. Bicara panjang lebar dan menyangkut ke mana-mana. Suara Azki semakin keras. Mengundang perhatian siswa lain lain.
Beberapa wajah-wajah siswa kelas satu, ada yang mulai khawatir. Jangan-jangan, guru yang bernama Pak Gatot mendengar dan kembali menghukum Azki.
"Bima tubuhnya besar tinggi, bak raksasa ada kumis tebal melintang bersenjatakan kuku dan gada. Kalau di dunia nyata, kira-kira seperti Ade Rai yang juara dunia binaraga itu. Kalau di sini, mungkin sepertimu!" Azki menepuk bahu Fahmi.
"Tapi, kamu harus pakai kumisnya Pak Raden, terus pinjam jalu punya ayam jagoku. Karena gada tak ada, bawa kentongan pos siskamling juga boleh! Jangan lupa, ganti kacamatamu dengan kacamata hitam, Moy! Bakal jadi Bima Millenial. Kamu mau?"
Terdengar tawa di barisan anak kelas satu. Fahmi melemparkan pandangan kepada anak-anak yang lain. Azki yang tadi mengomentari Pak Gatot, malah mengalihkan objek pembicaraan padanya.
Fahmi diam mendengarkan. Wajahnya memerah menahan amarah. Matanya tajam menatap Azki. Tawa anak-anak masih terdengar.
"Jangan pasang muka sok serem begitu. Kamu bukannya menyerupai Bima, malah seperti Gareng!"
Mendengar kalimat Azki. Anak-anak kembali tertawa. Bahkan semakin keras, Azki kembali menepuk pundak Fahmi yang masih menatapnya. Fahmi berdiri kaku wajahnya bertambah merah. Azki pun tersadar.
"Maaf, ya? Cuma bercanda! Daripada diam berpanas-panas?" Azki mengulurkan tangan kanannya. Suaranya pelan. Wajahnya tulus. Fahmi tersenyum sekilas, dan menyambut uluran tangan itu.
"Nah! Kalau tersenyum, wajahmu seperti..."
Suara Azki nyaris berbisik. Namun enggan menyelesaikan kalimatnya, saat melihat wajah Fahmi kembali berubah kaku. Ia hanya tersenyum geli. Fahmi penasaran.
"Seperti siapa?"
"Seperti..."
Tawa Azki meledak. sampai memegang perutnya. Merasa lucu, membayangkan orang yang lagi buang hajat.
Rasa penasaran Fahmi bertambah besar. Ia gemas. Kepalan tangannya digenggam erat. Lengannya bergetar.
Dug!
Curup, 26.12.2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H