Lalu berjalan pelan menghadap Mr. G. Sekali lagi anggukkan kepala. Akhirnya, berbalik badan menuju barisan anak kelas satu.
Tampak bahunya naik turun. Wajahnya memerah. Keringat mengucur deras di dahi dan lehernya. Bibirnya tersenyum, saat kembali berdiri di sebelah Fahmi.
"Lumayan! Kebetulan belum sarapan." Suara Azki terdengar di telinga Fahmi.
Fahmi diam tanpa komentar. Matanya menatap heran. "Nih anak! Dua puluh keliling halaman dibilang sarapan? Kalau aku, pasti sudah..."Â Wajah Fahmi pias. Tak mau lagi membayangkan.
"Cuma segitu, kecil!" Seakan membaca pikiran Fahmi. Azki menjentikkan jari kelingkingnya. "Yang bikin repot, harus sambil baca Sumpah Pemuda."
Fahmi tersenyum. Jadi tahu, bibir Azki yang komat-kamit tadi. Ternyata  sambil berlari, Azki diminta Mr. G membaca Sumpah Pemuda. Fahmi ingin tertawa, namun berusaha keras menahan diri.
"Kau tahu nama guru tadi Ndut? Eh, Moy?"
Wajah Fahmi mulai berubah.
"Pak Gatot! Mungkin orangtuanya mengidolakan Gatotkaca. Katanya, di sekolah, selain kepada kepala sekolah, semua anak harus tunduk kepadanya."
Azki berceloteh riang. Tak ada tanda-tanda kalau dirinya sudah berlari sebanyak dua puluh keliling halaman sekolah.
"Lucu! Wajahnya sengaja dipasang kusut. Biar terlihat angker kali, ya? Pasti orangtuanya keliru memberi nama. Gatotkaca, badannya lebih kecil dibanding Pak Gatot. Seharusnya beliau diberi nama Bima, bapaknya Gatotkaca."