Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tujuh Belas Tahun Lalu

22 Desember 2020   18:21 Diperbarui: 22 Desember 2020   21:54 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bangunan tua (sumber gambar: pixabay.com)

Tak lagi ada bangunan tua bergaya Eropa peninggalan Belanda itu. Juga barisan pagar kokoh berbahan kayu ulin hitam yang menurut cerita orang-orang tua dulu, diangkut langsung dari pulau Kalimantan.

Dulu, halamannya luas. Ditumbuhi rumput hijau membentang, dan hanya bisa tumbuh dengan tinggi sejengkal. Halaman itu, kusebut lapangan Belanda.

Setiap sore, lapangan Belanda itu berubah menjadi taman kota. Bagi anak laki-laki, menjadi tempat bermain bola. Anak-anak perempuan biasanya bermain masakan, terkadang bermain lompat tali yang dirangkai dari karet gelang.

Para ibu berkumpul dengan duduk melingkar, bertukar cerita juga canda sambil mengasuh. Sesekali, kulihat mereka duduk rapat dan berbisik-bisik. Mungkin bicara rahasia. Terkadang, ada yang terlihat marah seraya memangku paksa anaknya yang menangis, karena tak mau rambutnya dijadikan ajang berburu kutu.

Setiap musim layangan. Laki-laki dewasa yang memenuhi lapangan Belanda. Langit sore akan dipenuhi layangan yang beraneka warna. Ukurannya besar-besar. Ada yang berbentuk kupu-kupu serta mengeluarkan bunyi. Ada juga yang mirip ikan cupang dengan ekor yang panjang.

Adalah kebanggaan bagiku dan teman-teman, jika pemilik layangan meminta untuk membantu menggulung benang. Tak jarang terjadi perebutan sengit. Akhirnya, pemilik layangan yang membuat aturan dan menentukan. Bila terlihat perebutan itu sudah menjurus ke arah pertengkaran.

Namun, aku tak pernah bermain di dalam bangunan tua itu. Aku tahu, di halaman belakangnya ada tiga kuburan berukuran besar. Cerita temanku, Ibunya pernah melihat hantu orang Belanda.

Tujuh belas tahun lalu, aku percaya cerita itu. Walau aku tak tahu, siapa orang Belanda itu. Akupun tak tahu bagaimana rupa hantu. Tapi aku tahu, dan masih mengingat Mak Ijah.

***

Kini, tersisa satu pohon beringin raksasa. Dahannya menjuntai hingga ke seberang jalan. Daunnya rindang dengan akar yang menjulur keluar dari tanah. Menjadi tempat orang duduk untuk beristirahat, sekaligus tempat berteduh di saat hujan. Juga menjadi tempat parkir gerobak Mak Ijah.

"Pesan satu, Mak!"

"Iya. Pakai lontong?"

"Boleh. Cabainya sebelas, Mak!"

Sejenak, Mak ijah tertegun menatapku. Tangan kanan kuajukan beserta senyuman. Perlahan tanganku disambut tangan penuh kerut itu. Pelan, Mak ijah menepuk lengan kiriku.

"Wah! Mas ganteng, ternyata!"

"Mak masih ingat aku?"

"Hanya Mas yang pesan sebelas cabai!"

Aku tertawa, Mak ijah kubiarkan bekerja. Dulu. Lotek Mak Ijah tak pernah sepi pelanggan. Tetapi, siang itu, hanya ada aku, Mak Ijah dan gerobak lotek.

"Ini resep ibuku. Rahasia!"

Seperti mesin penjawab otomatis. Kalimat itu, adalah jawaban Mak Ijah. Jika ada pelanggan yang ajukan pertanyaan. Saat menikmati lotek, pelanggan akan ditemani cerita masa lalu yang terus diulang oleh Mak Ijah.

Mak Ijah anak tertua. Ayahnya seorang tentara rakyat yang ditemukan mati, saat agresi militer pertama Belanda. Ibunya terpaksa berjualan lotek, untuk membesarkan tiga orang anak. Namun, usia kedua adiknya tak lama. Mereka menyusul kepergian sang ayah pada waktu yang nyaris sama. Karena terjangkit wabah kolera

"Silakan, Mas."

"Terima kasih, Mak!"

Kunikmati sepiring lotek dengan potongan kecil lontong buatan Mak Ijah. Rasa yang khas saat singgah di lidah. Mengajak pulang kenangan masa kecil yang indah.

"Mas udah lama tak..."

"Tujuh belas tahun, Mak!"

Kubantu ingatan Mak Ijah dengan kalimatku. Mata perempuan tua itu segera menatap ke belakang pohon beringin. Di balik barisan seng yang membatasi pandangan itu, pernah ada bangunan tua peninggalan Belanda. Dulu.

"Oh! Berarti..."

"Iya, Mak. Aku ikut ke kuburan saat itu!"

Mak Ijah sesaat menatapku. Kemudian kembali melempar pandang ke arah pohon beringin. Aku tahu, Mak ijah sedang mengingat ulang peristiwa kematiann anaknya yang disambar petir.

Sore yang mendung. Namun, angin berembus kencang. Saat itu, ada perlombaan layangan agustusan. Suami Mak Ijah ikut berlomba, dan sang anak sebagai penggulung benang. Berkali petir memberi kabar, disertai rinai hujan.

Namun, masih banyak peserta termasuk suami dan anak Mak Ijah bertahan. Hingga berakhir dengan berita duka.

"Mau dibangun apa, Mak?"

Sengaja kualihkan ingatan Mak Ijah, sambil menunjuk barisan pagar seng yang dilihat Mak Ijah.

"Bilangnya, dulu akan dibangun terminal. Tak lama terjadi demo, karena dibangun Mall."

"Oh! Kenapa tak..."

"Sejak lima tahun lalu, tak boleh ada kegiatan. Masih sengketa lahan."

Jari telunjuk tangan kiri Mak Ijah menunjuk satu papan pemberitahuan tentang status lahan, di bekas bangunan tua Belanda.

***

Suara mengaji sayup terdengar. Di arah barat, semburat jingga senja terlihat. Mak Ijah bangkit dari duduk di hadapku, bergegas membereskan barang-barang dagangan.

"Berapa, Mak?"

"Gak usah bayar! Tapi, kamu bantu pindahkan gerobak Mak ke jalan, ya?"

"Lah? Biasanya..."

Aku melihat perubahan tiba-tiba di raut wajah Mak Ijah. Mak Ijah memulai cerita, suaminya dulu bekerja saat pembangunan mall itu. Saat demo, tiba-tiba area kerja dipenuhi massa. Suami Mak Ijah Terkejut, kemudian terjatuh dari lantai dua. Dan meninggal satu minggu setelahnya.

Saat Mak Ijah berkisah, aku memilih diam sambil mendorong gerobak. Saat aku pamit, Mak Ijah menatapku lekat. Mata itu mencari tahu, melampau lesatan waktu yang telah berlalu.

"Mak agak ragu. Bukannya kau..."

Tak kubiarkan Mak Ijah mengulang kisah peristiwa tujuh belas tahun lalu. Ketika kobaran api tak hanya melahap seisi rumah, juga ayah, ibu, dan dua adikku. Malam itu, aku tidak tidur di rumah. Tapi, menginap di rumah temanku. Anak Mak Ijah adalah temanku.

"Mak mau menjadi ibuku?"

Curup, 22. 12.2020

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun