"Iya. Pakai lontong?"
"Boleh. Cabainya sebelas, Mak!"
Sejenak, Mak ijah tertegun menatapku. Tangan kanan kuajukan beserta senyuman. Perlahan tanganku disambut tangan penuh kerut itu. Pelan, Mak ijah menepuk lengan kiriku.
"Wah! Mas ganteng, ternyata!"
"Mak masih ingat aku?"
"Hanya Mas yang pesan sebelas cabai!"
Aku tertawa, Mak ijah kubiarkan bekerja. Dulu. Lotek Mak Ijah tak pernah sepi pelanggan. Tetapi, siang itu, hanya ada aku, Mak Ijah dan gerobak lotek.
"Ini resep ibuku. Rahasia!"
Seperti mesin penjawab otomatis. Kalimat itu, adalah jawaban Mak Ijah. Jika ada pelanggan yang ajukan pertanyaan. Saat menikmati lotek, pelanggan akan ditemani cerita masa lalu yang terus diulang oleh Mak Ijah.
Mak Ijah anak tertua. Ayahnya seorang tentara rakyat yang ditemukan mati, saat agresi militer pertama Belanda. Ibunya terpaksa berjualan lotek, untuk membesarkan tiga orang anak. Namun, usia kedua adiknya tak lama. Mereka menyusul kepergian sang ayah pada waktu yang nyaris sama. Karena terjangkit wabah kolera
"Silakan, Mas."