Ada kebahagiaan jika mampu melupakan, bila dulu pernah melakukan hal paling bodoh semasa kecil hingga remaja. Melupakan barisan mantan yang keberadaannya ternyata menyakitkan. Ada kebanggaan jika telah melupakan kesalahan yang telah dilakukan.
Ungkapan "Memaafkan, tapi tidak melupakan" lebih disukai dibandingkan ujaran "Memaafkan, tapi mengingat". Mungkin ini pilihan, ya? Namun, sesungguhnya kata lupa adalah pilihan yang digunakan, tah?
Begitu pentingnya kata lupa. Bahkan pernah ada acara televisi yang membuat judul "Menolak lupa!" Dahsyat, kan?
Seakan-akan, tak ingin ada lupa! Seiring tujuannya, materi acara itu pun menyajikan berbagai peristiwa yang dianggap sudah dilupakan. Menggali dan menyigi ulang kenangan dan ingatan yang sejak dulu bermukim tenang dalam tumpukan ingatan yang telah menjadi sampah ingatan.
Ajaibnya, pernah ada beberapa aktivitas demontrasi yang menulis besar-besar pada spanduk atau kertas karton "Melawan Lupa!".
Setidaknya, makna tersirat dari kalimat menolak lupa dan melawan lupa itu. Pertama. Berjuang agar ingatan kembali. Kedua. Bertahan terhadap serangan virus lupa, agar tidak pikun atau tak lagi miliki ingatan. Berbeda, kah? Sama!
Hanya saja, Ingatan-ingatan itu, kemudian menciptakan ingatan-ingatan terbarukan. Terkadang, tanpa sadar, hadir penyesalan, kenapa itu dulu pernah dilupakan. Melupakan akhirnya berganti baju menjadi penyesalan.
"Aku lupa!"
Adalah jawaban paling elegan dan paling aman yang jamak kita dengar. Entah dari orang-orang tua, dari narapidana dihadapan jaksa, pengacara dan hakim. Atau oleh tersangka dan saksi di hadapan polisi.
Saat ini, kata lupa bukan lagi kegagalan menggali ingatan. Namun sudah menjadi jawaban wajib untuk melakukan penyelamatan bagi diri sendiri atau orang lain. Terkadang juga menjadi alasan untuk melakukan suatu pembenaran.