Sesungguhnya aku menerapkan pola pengawasan intensif terhadap pendidikan anakku. Tampaknya saja seperti "pembiaran". Namun hal itu kulakukan dalam bangunan komunikasi dengan anak-anak.
Aku lupa sumber teorinya. Ada 3 Cara Mengukur Hasil Belajar Anak. Dengan mengabaikan deretan angka sebagai nilai, atau sebagai peringkat anak di sekolah. Aku tulis menurut bahasaku saja, ya?
Pertama. Melihat Perubahan prilaku dalam diri anak yang relevan dengan materi belajar.
Ini adalah ukuran yang gampang dilihat dengan kasat mata. Semisal pelajaran tentang kebersihan dengan mulai membuang samaph pada tempat sampah. Atau tentang puasa sunat senin dan kamis, maka anak akan berusaha mengerjakan itu.
Syaratnya? Orangtua juga ikut terlibat menyigi dan menyimak materi ajar yang dipelajari anak di sekolah. biasanya, malam hari aku akan mengintip materi anak buat besok. Dan saat menjemput anak, akan aku tanyakan! Curang, ya?
Kedua. Menyimak Perubahan pola pikir anak.
Karena sering melihat razia Polantas terhadap para pengendara motor yang tak menggunakan helm. Anakku akan mengingatkan, "Jangan lupa helm, Yah. Nanti ada razia!"
Namun setelah belajar di sekolah tentang keselamatan di jalan raya, serta melihat beberapa akibat keclakaan bermotor dari tayangan berita di televisi. Saat terjadi razia, kalimat anakku mulai berubah, " Kenapa gak mau pakai helm? Padahal untuk melindungi kepala kan, Yah?"
Ketiga. Mencari tahu apakah anak dapat membangun konsep baru.
Aku contohkan, Anakku lelakiku pernah ada tugas sekolah praktek membuat kecambah tauge dari kacang hijau pada pelajaran IPA. Karena ingatnya malam, kecil kemungkinan untuk mendapatkan kacang hijau. Saat aku berfikir mencari, anakku malah berucap dengan santai,