"Hari ini, terakhir UTS, kan?"
"Iya, Yah! Semoga nilai Uni 90 semua!"
"Kakak?"
"Belum tahu, Yah! Kan, hasilnya belum dibagikan?"
Ini percakapan siang tadi saat menjemput kedua anakku dari sekolah. Hari ini adalah sesi terakhir melewati sepuluh hari "pertempuran" Ujian Tengah Semester (UTS). Uni adalah panggilan buat anak gadisku kelas 6 SD. Dan Kakak adalah lelaki kecilku kelas 4 SD.
Apa yang terpikir oleh orangtua, saat anaknya selesai melaksanakan ujian? Hasil belajarnya, kan? Biasanya, tentang nilai atau peringkat di kelas yang tertera di urutan paling bawah rapornya, tah?
Kekadang, malah ada orangtua yang tak menyigi satu-persatu nilai yang diperoleh anaknya dari setiap mata pelajaran. peringkat atau ranking sudah menjadi "sumber primer" tentang ukuran keberhasilan dari perjuangan anak di sekolah.
Namun tak semua orangtua begitu, kan? Aku tulis saja caraku, boleh, kan?
Karena sudah kelas 6, kulihat Uni lebih serius dalam menghadapi ujian. Tak perlu bertanya, di atas motor, gadisku akan bercerita tentang kesulitan atau kemudahan saat mengerjakan ujian. dan tugasku hanya memberi celetukan ringan.
Biasanya, ketika sampai di rumah, Uni akan mengingat kembali pertayaan dan jawaban dari pelajaran yang diujikan. Jika yakin benar dan memuaskan, akan tersenyum. Jika ternyata jawaban salah, maka aku akan jadi papan pantul.
"Kenapa Uni jawab ini, seharusnya itu, Yah! Jadi kesal!"
"Menurut Ayah. Benar gak, kalau jawaban Uni..." Â Â
Karena usai menjemput anak, aku kembali ke tempat kerja dan pulang saat sore hari. Maka setiap sore, aku akan menemukan ocehan seperti itu. Bagiku, anggap saja itu ungkapan rasa tanggungjawab anak gadisku. Hihi...
Berbeda dengan kakak, lelaki kecilku. Masa ujian, dihadapi dengan santai. Malah bahagia, karena pulang lebih cepat dibandingkan hari biasa. Kulihat, tak ada respon atau tekanan berlebihan padanya. Dan lebih realistis menerima apapun proses dan hasil ujian.
Saat aku pulang kerja di sore hari, Kakak akan menemuiku dan berujar kalimat laporan, "Kakak sudah belajar tadi, Yah!"
Sejak mengenal masa sekolah, aku membangun kemandirian anak-anakku. Mengajak mereka merancang kegiatan harian masing-masing. Semacam "Daily Activity" sederhana. Berbentuk tabel dengan kolom waktu dan jenis kegiatan yang musti dilakukan, ditulis tangan, dan aku serta anak-anak menandatangani kertas itu. Haha...
Terus, bagaimana dengan nilai sebagai ukuran hasil belajar mereka? Apakah anak-anakku menjadi juara? Tidak! Hiks...
Jika menilik rapor mereka. Gadisku pernah peringkat 20-an! Mulai kelas 4 peringkatnya keluar masuk 5 besar. Lelaki kecilku, malah masih berjuang bertahan di 10 besar. Pasti bohong jika aku sebagai orangtua tak menginginkan nilai yang baik atau mereka menjadi yang terbaik, kan? Aku sudah berlakukan "fatwa" ajaib untuk semua anakku.
"Mau panen durian, musti menanam bibit durian. Belum ada sejarahnya, orang panen durian, jika yang ditanam bibit cabe!"
Karena masih sekolah dasar, aku memilih cara agar mereka memahami konsep belajar dan bersekolah. Jadi fatwa itu maksudnya, silakan anakku membuat target mereka sendiri. Jadi, usai menerima rapor, anakku akan mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.
Aku? Tetap menyimak refleksi mereka. Apakah aku melakukan punish and reward? Iya! Tapi tidak persis pada saat mereka menerima rapor. Kubiarkan mereka mengukur diri untuk "pantas atau tidak pantas" mendapatkan itu. Susah jadi anakku, kan?
Sesungguhnya aku menerapkan pola pengawasan intensif terhadap pendidikan anakku. Tampaknya saja seperti "pembiaran". Namun hal itu kulakukan dalam bangunan komunikasi dengan anak-anak.
Aku lupa sumber teorinya. Ada 3 Cara Mengukur Hasil Belajar Anak. Dengan mengabaikan deretan angka sebagai nilai, atau sebagai peringkat anak di sekolah. Aku tulis menurut bahasaku saja, ya?
Pertama. Melihat Perubahan prilaku dalam diri anak yang relevan dengan materi belajar.
Ini adalah ukuran yang gampang dilihat dengan kasat mata. Semisal pelajaran tentang kebersihan dengan mulai membuang samaph pada tempat sampah. Atau tentang puasa sunat senin dan kamis, maka anak akan berusaha mengerjakan itu.
Syaratnya? Orangtua juga ikut terlibat menyigi dan menyimak materi ajar yang dipelajari anak di sekolah. biasanya, malam hari aku akan mengintip materi anak buat besok. Dan saat menjemput anak, akan aku tanyakan! Curang, ya?
Kedua. Menyimak Perubahan pola pikir anak.
Karena sering melihat razia Polantas terhadap para pengendara motor yang tak menggunakan helm. Anakku akan mengingatkan, "Jangan lupa helm, Yah. Nanti ada razia!"
Namun setelah belajar di sekolah tentang keselamatan di jalan raya, serta melihat beberapa akibat keclakaan bermotor dari tayangan berita di televisi. Saat terjadi razia, kalimat anakku mulai berubah, " Kenapa gak mau pakai helm? Padahal untuk melindungi kepala kan, Yah?"
Ketiga. Mencari tahu apakah anak dapat membangun konsep baru.
Aku contohkan, Anakku lelakiku pernah ada tugas sekolah praktek membuat kecambah tauge dari kacang hijau pada pelajaran IPA. Karena ingatnya malam, kecil kemungkinan untuk mendapatkan kacang hijau. Saat aku berfikir mencari, anakku malah berucap dengan santai,
"Bibit Kangkung masih ada, Yah? Kan, sama aja?"
"Tapi bakal lebih lama, Nak!"
"Yang penting dari biji menjadi kecambah!"
"Cerdas! Salaman, Kak!"
Kekadang, sebagai orangtua, aku malah gak siap. Jika anakku, Â pasti mengamati hobiku yang suka menanam sayuran di rumah. Semua proses pembenihan hingga panen kangkung itu diingat, dan dipadupadankan dengan pelajaran tentang kacang hijau. Ahaaay... Â Â
Begitulah! Ada yang berefleksi dengan marah-marah dan merasa berhak untuk mendapatkan nilai yang baik sebagai "balasan" dari anak, dengan mengukur hasil belajar berdasarkan nilai dan peringkat. Kemudian menemukan solusi anak untuk menjalani berbagai les.
Namun, ada juga yang melihat dan menilai keberhasilan anaknya belajar di sekolah dengan menyigi dan menyesuaikan kemampuan anak. Serta melihat dari "perkembangan" sikap prilaku serta kepribadian dari anak.
Cara dan alat ukur setiap orangtua pasti berbeda. Seiring dengan visi dan misi dari orangtua terhadap anaknya saat ini dan di masa depan. Namun, aku sepakat dengan ungkapan, "tak ada manusia yang dilahirkan bodoh!"
Menurutku, tiga cara di atas, adalah upaya "berdamai" dengan hasil belajar sesuai kemampuan anak. Dan ini sulit diukur tanpa Interaksi dan komunikasi yang intens antara orangtua dan anak. Satu pesan tetua Minangkabau, melekat di kepalaku.
"Tujuan anak dididik bukan untuk juara, tapi sebagai manusia"
Demikianlah. Banyak maaf jika dianggap curhat. Hayuk salaman!
Curup, 13.03.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H