Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Orangtua Musti Belajar "Melupakan" Nilai dan Peringkat sebagai Alat Ukur Hasil Belajar Anak

13 Maret 2020   21:21 Diperbarui: 14 Maret 2020   03:38 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa Uni jawab ini, seharusnya itu, Yah! Jadi kesal!"

"Menurut Ayah. Benar gak, kalau jawaban Uni..."   

Karena usai menjemput anak, aku kembali ke tempat kerja dan pulang saat sore hari. Maka setiap sore, aku akan menemukan ocehan seperti itu. Bagiku, anggap saja itu ungkapan rasa tanggungjawab anak gadisku. Hihi...

Berbeda dengan kakak, lelaki kecilku. Masa ujian, dihadapi dengan santai. Malah bahagia, karena pulang lebih cepat dibandingkan hari biasa. Kulihat, tak ada respon atau tekanan berlebihan padanya. Dan lebih realistis menerima apapun proses dan hasil ujian.

Saat aku pulang kerja di sore hari, Kakak akan menemuiku dan berujar kalimat laporan, "Kakak sudah belajar tadi, Yah!"

Sejak mengenal masa sekolah, aku membangun kemandirian anak-anakku. Mengajak mereka merancang kegiatan harian masing-masing. Semacam "Daily Activity" sederhana. Berbentuk tabel dengan kolom waktu dan jenis kegiatan yang musti dilakukan, ditulis tangan, dan aku serta anak-anak menandatangani kertas itu. Haha...

Terus, bagaimana dengan nilai sebagai ukuran hasil belajar mereka? Apakah anak-anakku menjadi juara? Tidak! Hiks...

Jika menilik rapor mereka. Gadisku pernah peringkat 20-an! Mulai kelas 4 peringkatnya keluar masuk 5 besar. Lelaki kecilku, malah masih berjuang bertahan di 10 besar. Pasti bohong jika aku sebagai orangtua tak menginginkan nilai yang baik atau mereka menjadi yang terbaik, kan? Aku sudah berlakukan "fatwa" ajaib untuk semua anakku.

"Mau panen durian, musti menanam bibit durian. Belum ada sejarahnya, orang panen durian, jika yang ditanam bibit cabe!"

Karena masih sekolah dasar, aku memilih cara agar mereka memahami konsep belajar dan bersekolah. Jadi fatwa itu maksudnya, silakan anakku membuat target mereka sendiri. Jadi, usai menerima rapor, anakku akan mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.

Aku? Tetap menyimak refleksi mereka. Apakah aku melakukan punish and reward? Iya! Tapi tidak persis pada saat mereka menerima rapor. Kubiarkan mereka mengukur diri untuk "pantas atau tidak pantas" mendapatkan itu. Susah jadi anakku, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun