Bisa salah satu dari keduanya, karena "pengaruh dominan" bahasa yang digunakan di keluarga atau lingkungan tinggalnya, atau memilih "jalan tengah" dengan bahasa yang dimengerti bersama.
Ketiga. Sepertiku, ayah dan ibuku dari suku Minang yang merantau puluhan tahun di Bengkulu. Aku lahir dan besar di Curup- Bengkulu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Maka bahasa Ibuku adalah bahasa melayu.
Apakah aku tak bisa bahasa Minang? Bisa! Tapi bahasa Minang menjadi bahasa kedua bagiku. Begitu juga dengan bahasa Indonesia jadi bahasa ketiga, begitu seterusnya dengan bahasa-bahasa yang lain.
Akhirnya, Bahasa Ibu tak lagi menjadi identitas diri seseorang, kan? Walau jamak diujarkan, bahwa Bahasa Ibu itu, berpedoman pada bahasa daerah.
Jika Bahasa Ibu dimaknai sebagai bahasa daerah. Menurutku, harus tuntas dikenalkan kepada anak sebelum mencapai usia lima tahun. Ini bukan definisi ahli, tapi sependek pengalaman dan pengamatanku saja. Alasannya?
Pada usia sebelum lima tahun, Khususnya pada rentang usia 1 hingga 3 tahun. Kegiatan dan aktifitas anak berpusat di rumah. Ruang dan waktu anak lebih banyak bersama keluarga. Juga pada usia demikian, anak baru mengenal bunyi. Atau berbahasa dengan kata atau kalimat pendek-pendek.
Pada momen itu, "pengaruh" dari luar masih sedikit atau bisa diminimalisir. Orangtua bisa fokus menanamkan Bahasa Ibu. Seiring bertambah usia dan pemahaman anak berbahasa, jika anak tuntas Bahasa Ibu, anak akan melakukan perbandingan banyak informasi bahasa dari bahasa yang biasa digunakan.
"Bu, kenapa Kak Ros bilang anak itu budak?"
"Yah! Kenapa Jarjit menyebut due, tige? Seharusnya dua, tiga, kan?"
"Comel itu  artinya cantik, kan?"