Sejak tanggal  21 Februari 1999, dideklarasikan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO) sebagai Hari Bahasa Ibu internasional. Aku tulis, ya?
Kukutip dari Wikipedia dan sejalan dengan KBBI, Bahasa Ibu, adalah bahasa yang pertama didengar, dimengerti dan digunakan oleh seseorang melalu interaksi dengan sesama anggota masyarakat seperti keluarga dan lingkungan.
Dalam bahasa Inggris, ada beberapa istilah Mother Tongue, Mother Language, Native Language atau First Language. Dalam bahasa latin dikenal dengan sebutan "Lingua Materna".
Setiap hari, kita tidak akan pernah lepas dari bahasa. Sejak kecil kita sudah terbiasa untuk berbahasa. Iya, kan? Namun sedikit orang yang bisa menjelaskan apa sebetulnya Bahasa Ibu?
Berpijak dari pengertian Bahasa Ibu adalah bahasa pertama manusia. Menurutku, ada kelirumologi yang berkembang dalam memaknai Bahasa Ibu sebagai bahasa sang ibu. Kok bisa?
![Sumber gambar : breakingnews.co.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/02/21/untuk-mengingatkan-bahasa-daerah-setiap-21-februari-memperingati-hari-bahasa-ibu-internasional-5e4f8085d541df0ac0260b62.jpg?t=o&v=770)
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia selama keberadaan manusia. Malahan para ahli masih sibuk bertanya kapan manusia berbahasa (memproduksi bahasa)? Dan siapa manusia yang pertama kali berbahasa?
Sebagai makhluk yang berbudaya dengan kehidupan yang tidak tetap dan berubah. Maka bahasa juga berubah atau dinamis mengikuti perubahan kehidupan manusia. Contohnya?
Pertama. Seorang anak yang lahir dengan kedua orangtuanya dari suku Jawa dan pengguna aktif bahasa Jawa serta tinggal di lingkungan etnis Jawa. Idealnya Bahasa Ibu sang anak adalah bahasa Jawa.
Namun, jika orangtua tersebut tak menggunakan bahasa Jawa, tapi bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan anak, atau teman bermain anak juga menggunakan bahasa pengantar pergaulan memakai bahasa Indonesia, maka Bahasa Ibu sang anak adalah bahasa Indonesia.
Kedua. Seorang anak lahir dari orangtua yang berbeda etnis. Katakanlah ibu dari suku Jawa dan ayah dari suku Minang, serta tinggal di lingkungan suku Jawa. Biasanya ada "kompromi" Bahasa Ibu buat si anak.
Bisa salah satu dari keduanya, karena "pengaruh dominan" bahasa yang digunakan di keluarga atau lingkungan tinggalnya, atau memilih "jalan tengah" dengan bahasa yang dimengerti bersama.
Ketiga. Sepertiku, ayah dan ibuku dari suku Minang yang merantau puluhan tahun di Bengkulu. Aku lahir dan besar di Curup- Bengkulu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Maka bahasa Ibuku adalah bahasa melayu.
Apakah aku tak bisa bahasa Minang? Bisa! Tapi bahasa Minang menjadi bahasa kedua bagiku. Begitu juga dengan bahasa Indonesia jadi bahasa ketiga, begitu seterusnya dengan bahasa-bahasa yang lain.
Akhirnya, Bahasa Ibu tak lagi menjadi identitas diri seseorang, kan? Walau jamak diujarkan, bahwa Bahasa Ibu itu, berpedoman pada bahasa daerah.
![Illustrated by pixabay.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/02/21/learn-2001847-640-5e4f80d2d541df266245d2d2.jpg?t=o&v=770)
Jika Bahasa Ibu dimaknai sebagai bahasa daerah. Menurutku, harus tuntas dikenalkan kepada anak sebelum mencapai usia lima tahun. Ini bukan definisi ahli, tapi sependek pengalaman dan pengamatanku saja. Alasannya?
Pada usia sebelum lima tahun, Khususnya pada rentang usia 1 hingga 3 tahun. Kegiatan dan aktifitas anak berpusat di rumah. Ruang dan waktu anak lebih banyak bersama keluarga. Juga pada usia demikian, anak baru mengenal bunyi. Atau berbahasa dengan kata atau kalimat pendek-pendek.
Pada momen itu, "pengaruh" dari luar masih sedikit atau bisa diminimalisir. Orangtua bisa fokus menanamkan Bahasa Ibu. Seiring bertambah usia dan pemahaman anak berbahasa, jika anak tuntas Bahasa Ibu, anak akan melakukan perbandingan banyak informasi bahasa dari bahasa yang biasa digunakan.
"Bu, kenapa Kak Ros bilang anak itu budak?"
"Yah! Kenapa Jarjit menyebut due, tige? Seharusnya dua, tiga, kan?"
"Comel itu  artinya cantik, kan?"
Jadi, ketika anak mengenal "kata baru" yang tak sesuai dengan bahasa ibu. Seperti tiga kemungkinan respon dan pertanyaan dari anak saat menonton film Upin-Ipin. Karena "kata baru" yang didengarkan itu akan menjadi bahasa kedua bagi anak.
Akan berbeda jika anak tak tuntas menguasai bahasa ibu. Maka kata-kata itu, akan menjadi bahasa pertama bagi anak, alias bahasa ibu. Tuh, kan?
![Illustrated by pixabay.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/02/21/world-97864-640-5e4f823a097f360b716198d2.png?t=o&v=770)
Adalah benar, Bahasa Ibu identik dengan bahasa daerah. Indonesia memiliki kekayaan luar biasa, jika bicara ragam budaya termasuk di dalamnya bahasa daerah. Â Kukira, semua akan sepakat bahwa Bahasa Ibu perlu dilestarikan.
Dilansir liputan6.com (21/02/2020), ada 718 bahasa daerah yang dipetakan di Indonesia. 11 di antaranya telah punah. 9 bahasa di Maluku dan Maluku utara dan 2 di papua (tautan terlampir). Artinya ada 707 bahasa daerah yang masih hidup dan digunakan.
Bayangkan jika bahasa itu punah? Maka jejak budaya dan kearifan lokal yang berpedoman pada bahasa itupun akan lenyap. Karena bahasa, bisa menjadi gerbang pembuka keberadaan sebuah budaya. Beberapa hal ini, bisa dilakukan sebagai upaya melestarikan bahasa Ibu.
Pertama. Memperbanyak penutur. Terkadang, bukan tentang ajaran dan asuhan di keluarga tentang bahasa ibu. Tapi gaya hidup, merasa gengsi atau dianggap ndeso membuat banyak orang meninggalkan bahasa ibunya.
Dalam grup WA Kompasianer dengan anggota berbeda latar belakang budaya dan bahasa. Acapkali kujumpai teman yang menggunakan bahasa ibunya, bahasa Jawa, Sunda atau Banjar. Pun seringkali terjadi "kejahilan dan iseng" dari sesama anggota. Namun bagiku, itu adalah salah satu upaya mempertahankan bahasa ibu.
Kedua. Perbanyak memindahkan Bahasa Ibu dari lisan menjadi tulisan. Beberapa Kompasianer pun pernah menulis artikel dalam bahasa ibunya. Semisal puisi-puisi Mas Mim Yudiarto, Mbah Ukik, atau pantun Bang Kartika Eka H.
Selain itu, karena berasal dari Minang, aku pribadi akan menggunakan Bahasa Ibu (Minang) jika bertandang ke akun Kompasiana Pak Tjiptadinata Effendi yang biasa kusapa Mamanda. Beliau pun akan melakukan hal yang sama jika memberi atau membalas komentar.
Malah pernah aku dibuatkan puisi oleh akun Limbuk dengan puisi berbahasa jawa, Dan aku sibuk mencari tahu terjemahannya. Haha...
Ketiga. Membiasakan di ranah Pendidikan dan Kebijakan. Aku menyambut baik, jika ada yang menggunakan bahasa pengantar, baik pada buku pelajaran di sekolah, atau guru menjelaskan di kelas sah-sah saja menggunakan bahasa ibu yang berlaku di daerah tersebut. Umumnya, kedekatan secara emosional dengan bahasa tuturan, akan membuat siswa antusias.
Sebelumnya, Ridwan Kamil (saat menjabat sebagai Walikota Bandung), di halaman facebook-nya setiap hari rabu menggunakan bahasa Sunda. Penulis Boy Chandra pun, mencoba komitmen menulis di twitter satu kali seminggu menggunakan bahasa Minang.
Jadi?
Walau penggunaan Bahasa Ibu, tak lagi menjadi penentu identitas pribadi seseorang. Kukira sudah seharusnya kita memiliki peran melestarikannya, kan? Tentu saja semampu kita.
Sepakat? Salaman!
Hayuk ikut meriahkan Hari Bahasa Ibu Internasional!
Curup, 21.02.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Taman Baca:
1. Wikipedia 2. liputan6.com 3. Limbuk
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI