Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama FEATURED

Hari Bahasa Ibu Internasional 2020, Masihkah Bahasa Ibu sebagai Identitas?

21 Februari 2020   14:17 Diperbarui: 21 Februari 2021   11:21 2873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Jadi, ketika anak mengenal "kata baru" yang tak sesuai dengan bahasa ibu. Seperti tiga kemungkinan respon dan pertanyaan dari anak saat menonton film Upin-Ipin. Karena "kata baru" yang didengarkan itu akan menjadi bahasa kedua bagi anak.

Akan berbeda jika anak tak tuntas menguasai bahasa ibu. Maka kata-kata itu, akan menjadi bahasa pertama bagi anak, alias bahasa ibu. Tuh, kan?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Terus, Apa yang Bisa Dilakukan?

Adalah benar, Bahasa Ibu identik dengan bahasa daerah. Indonesia memiliki kekayaan luar biasa, jika bicara ragam budaya termasuk di dalamnya bahasa daerah.  Kukira, semua akan sepakat bahwa Bahasa Ibu perlu dilestarikan.

Dilansir liputan6.com (21/02/2020), ada 718 bahasa daerah yang dipetakan di Indonesia. 11 di antaranya telah punah. 9 bahasa di Maluku dan Maluku utara dan 2 di papua (tautan terlampir). Artinya ada 707 bahasa daerah yang masih hidup dan digunakan.

Bayangkan jika bahasa itu punah? Maka jejak budaya dan kearifan lokal yang berpedoman pada bahasa itupun akan lenyap. Karena bahasa, bisa menjadi gerbang pembuka keberadaan sebuah budaya. Beberapa hal ini, bisa dilakukan sebagai upaya melestarikan bahasa Ibu.

Pertama. Memperbanyak penutur. Terkadang, bukan tentang ajaran dan asuhan di keluarga tentang bahasa ibu. Tapi gaya hidup, merasa gengsi atau dianggap ndeso membuat banyak orang meninggalkan bahasa ibunya.

Dalam grup WA Kompasianer dengan anggota berbeda latar belakang budaya dan bahasa. Acapkali kujumpai teman yang menggunakan bahasa ibunya, bahasa Jawa, Sunda atau Banjar. Pun seringkali terjadi "kejahilan dan iseng" dari sesama anggota. Namun bagiku, itu adalah salah satu upaya mempertahankan bahasa ibu.

Kedua. Perbanyak memindahkan Bahasa Ibu dari lisan menjadi tulisan. Beberapa Kompasianer pun pernah menulis artikel dalam bahasa ibunya. Semisal puisi-puisi Mas Mim Yudiarto, Mbah Ukik, atau pantun Bang Kartika Eka H.

Selain itu, karena berasal dari Minang, aku pribadi akan menggunakan Bahasa Ibu (Minang) jika bertandang ke akun Kompasiana Pak Tjiptadinata Effendi yang biasa kusapa Mamanda. Beliau pun akan melakukan hal yang sama jika memberi atau membalas komentar.

Malah pernah aku dibuatkan puisi oleh akun Limbuk dengan puisi berbahasa jawa, Dan aku sibuk mencari tahu terjemahannya. Haha...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun