Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tapak Tilas Kenangan

1 Februari 2020   14:49 Diperbarui: 1 Februari 2020   17:07 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pxfuel.com

Rumi berdiri di depan kalender yang tergantung di dinding ruang tamu. Menundukkan kepala sejenak. Meraih spidol besar yang sengaja digantung menggunakan tali plastik. Perlahan, melingkari satu angka di kalender. Tanggal hari ini.

"Kita berangkat, Mas?"

Sesaat Rumi menatapku, kemudian melirik gelas bertadah piring kecil yang tersaji di atas meja. Kopiku masih bersisa setengah. Tak bersuara, perempuan berusia tigapuluh tahun itu, akhirya memilih duduk di hadapku.

"Sebentar lagi, ya?"

Tak menunggu reaksi Rumi. Kuraih gelas di hadapku. Mereguk isinya dengan terburu. Dan kembali meletakkan gelas ke posisi semula. Kulihat segaris senyum tersaji di wajah Rumi. Namun segera lenyap, saat mengetahui aku memandangnya.

"Kenapa tersenyum?"

"Eh? Melihat cara Mas minum, Aku..."

"Lupakan! Hayuk berangkat!"

Tergesa, aku berdiri. Kembali meraih gelas dan menandaskan isinya. Rumi terkejut menatapku. Sambil anggukkan kepala, kuserahkan gelas. Rumi bangkit duduknya, meraih gelas dan berjalan cepat menuju dapur.

***

"Sudah siap, Mas!"

Suara bergetar dan pelan terdengar dari belakang punggungku. Sambil melepaskan kalender, aku berbalik badan menatap Rumi yang menundukkan kepala. Pelan, kuusap kepalanya. Tak ada lagi gunanya bicara. Kurengkuh tubuh adikku.

"Menangislah!"

"Mas..."

Kurasakan getaran tubuh Rumi, dengan tangisan yang tak lagi mampu ditahan. Dari kalender itu, aku tahu. Pagi ini, hari ke sembilanpuluh tujuh kepergian Amin. Suami Rumi. Juga teman satu ruangan denganku di kantor.

"Menangislah. Jangan ditahan!"

Telingaku menangkap nada janggal yang terlontar dari mulutku sendiri. Ruang tamu dikuasai sunyi dan airmata.

***

"Kita ke Danau Dendam Tak Sudah, Mas?"

"Ini mau zuhur! Masih..."

Kalimatku terhenti saat memandang wajah Rumi. Segera kuanggukkan kepala, ketika melihat perubahan di wajah adikku. Sekilas senyum hadir di wajah Rumi. Dan kembali menunduk. Tangan kanan Rumi perlahan menyentuh papan di hadap duduknya. Mengusap deret aksara yang tertulis nama mendiang suaminya.

Aku tak ingin merusak suasana hati juga sisa hari. Tak kubiarkan mataku kembali menyaksikan airmata Rumi. Pelan, kutarik tangan Rumi, mengajak pergi meninggalkan area pemakaman umum.

***

Tawa lepas Rumi, mulai kudengar saat di danau. Itu tempat pertemuan rahasianya dengan Amin. Usai sholat zuhur, Rumi mengajakku menikmati mi ayam favorit mereka berdua, yang lokasinya ternyata persis di depan masjid.

Rumi juga memaksaku ke Taman Kota. Menyaksikan orang-orang menghabiskan sore. Dan, akupun memaksa diri menghabiskan segelas besar es dogan bercampur gula merah. Saat Rumi bercerita, itu adalah menu favorit mereka berdua.

Sejak keluar dari rumah pagi tadi, hingga kuantar pulang ke rumah menjelang maghrib. Tak ada tangisan, juga gurat kesedihan di wajah Rumi.

"Aku harus pulang!"

"Iya, Mas!"

"Jaga dirimu."

"Sampaikan maafku untuk Wisnu!"

***

"Jadi? Rumi..."

Wisnu terdiam, saat melihat gelengan kepalaku. Musholla kantor, sejak tadi sepi. Hanya tertinggal aku dan Wisnu. Kukira, waktu istirahat siang tinggal sebentar lagi. Lelaki sebaya Rumi, duduk tenang menatapku.

Aku tahu, tak mudah bagi Rumi melupakan Amin. Perkenalan yang singkat dan berlanjut dengan pernikahan. Belum genap setahun menjalani biduk rumah tangga, Terjadi peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa Amin.

Rumi pasti mengerti tujuan kedatanganku kemarin. Mulai dari kalender, tangisan pagi itu, serta sehari penuh Rumi mengajakku menapaktilasi kenangannya bersama Amin. Hingga kata maaf yang terucap di akhir perjumpaan, cukup menjadi jawaban dari keinginan Wisnu untuk menikahinya.

"Rumi masih butuh waktu!"

"Iya, Aku mengerti, Mas! Aku akan menunggu."

"Lusa, seratus hari Amin. Di rumah orangtuanya. Kau ikut?"

"Pasti!"

Aku berdiri, sambil menepuk pelan bahu Wisnu. Mengajak pergi meninggalkan musholla. 

"Aku yang jemput Rumi, Mas!"

Curup. 01.02.2020

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun