Suara bergetar dan pelan terdengar dari belakang punggungku. Sambil melepaskan kalender, aku berbalik badan menatap Rumi yang menundukkan kepala. Pelan, kuusap kepalanya. Tak ada lagi gunanya bicara. Kurengkuh tubuh adikku.
"Menangislah!"
"Mas..."
Kurasakan getaran tubuh Rumi, dengan tangisan yang tak lagi mampu ditahan. Dari kalender itu, aku tahu. Pagi ini, hari ke sembilanpuluh tujuh kepergian Amin. Suami Rumi. Juga teman satu ruangan denganku di kantor.
"Menangislah. Jangan ditahan!"
Telingaku menangkap nada janggal yang terlontar dari mulutku sendiri. Ruang tamu dikuasai sunyi dan airmata.
***
"Kita ke Danau Dendam Tak Sudah, Mas?"
"Ini mau zuhur! Masih..."
Kalimatku terhenti saat memandang wajah Rumi. Segera kuanggukkan kepala, ketika melihat perubahan di wajah adikku. Sekilas senyum hadir di wajah Rumi. Dan kembali menunduk. Tangan kanan Rumi perlahan menyentuh papan di hadap duduknya. Mengusap deret aksara yang tertulis nama mendiang suaminya.
Aku tak ingin merusak suasana hati juga sisa hari. Tak kubiarkan mataku kembali menyaksikan airmata Rumi. Pelan, kutarik tangan Rumi, mengajak pergi meninggalkan area pemakaman umum.