"Aku traktir!"
"Wah! Bupati memberimu uang?"
"Kepala sekolah!"
Aku tertawa. Dan segera berhenti, saat Acil menyerahkan selembar kertas putih, kulihat sebuah puisi dari tulisan tangannya. Aku kembali tertawa, saat membaca judul yang ditulis dengan huruf besar. Tak hanya judul, Acil juga mengubah seluruh puisi itu.
"AKU INGIN JADI PRESIDEN?"
"Iya. Kuubah semua, termasuk judul!"
"Terus, kenapa kemarin..."
Tak perlu kujelaskan jawaban Acil. Temanku itu, memiliki banyak alasan yang membuatku malu. Acil tak suka meniru apalagi menipu.
Sebaiknya, kuceritakan satu rahasia, ya?
Masaku dulu, tidak sah mengaku sebagai anak laki-laki, jika tak bisa memanjat pohon. Nah, Acil adalah satu-satunya temanku yang tak bisa memanjat. Akh! Kau jangan tertawa! Dengarkan dulu alasannya!
Pernah sekali waktu. Saat hari libur, dengan alasan memancing belut, kuajak Acil ke sawah di belakang rumah. Tapi sasaranku adalah pohon jambu biji Pakde Maksum. Kau masih ingat? Iya, sudah lama meninggal dan mantan Kepala Desa.
"Kalau mencuri jambu. Aku tak mau lagi berteman denganmu!"
Mata Acil menatap tajam padaku. Sejak pagi, tak satupun belut didapatkan. Dan Acil membaca gerak langkahku, saat mendekati pohon jambu.
"Iya! Kita istirahat di dahan saja. Kan, teduh?"
"Jangan ambil jambu. Janji?"
"Iya!"
"Kau saja yang memanjat. Aku duduk di bawah!"
Aku menelan tawa, saat Acil ungkapkan alasannya, selain karena pohon itu milik orang, ibunya juga melarang. Sebab, jika memanjat sembarang, ada kemungkinan mengambil milik orang. Akupun baru menyadari, jika Acil tak memiliki pohon di rumahnya.