Sepertiku, kau pasti pernah melihat fotonya terpajang di dinding kelas, tergantung lebih tinggi dari papan tulis. Bertahun, foto itu seakan abadi terpasang di posisi sebelah kanan, walau gambar pasangan di sebelah kiri acapkali berganti. Kau mengingatnya?
Raut wajah tenang yang menawarkan kedamaian, garis senyuman yang mengguratkan ketulusan dan tatapan mata teduh yang menyiratkan keteguhan. Saat itu, banyak orang-orang mengaguminya. Kau tahu, kan?
Duduklah sejenak, dan dengarkanlah! Biarkan Aku bercerita tentang Acil. Kau mungkin tak sempat mengenal temanku semasa kecil itu. Akupun tak menyimpan foto Acil. Akh! Kau pasti mengerti kehidupan orang kampung sepertiku saat itu.
"Aku ingin seperti dia!"
Begitulah! Berkali dan tak terhitung lagi, jari telunjuk Acil mengarah pada foto yang terpasung berdebu di depan kelas. Setiap kali ditanyakan cita-cita atau mimpinya, oleh guru-guru dan teman-teman sekelas.
Aku sedikit lupa kapan persisnya. Mungkin waktu kelas empat, atau kelas lima. Saat itu, Acil diminta tampil membaca puisi di kantor Bupati. Satu hari sebelumnya, Acil memaksaku menemani ke tempat penyewaan buku.
Nyaris satu jam mencari dan membolak-balikkan banyak majalah, hingga mengundang tanya bernada marah dari pemiliknya.
"Sebenarnya, kau cari apa?"
"Puisi, Bang!"
"Kan banyak! Itu, majalah di tanganmu..."
"Bukan ini!"
"Maumu tentang apa?"
Ajaib! Tak lagi ada amarah atau wajah jengkel. Pemiliknya, membiarkan Acil dan aku membongkar majalah anak-anak yang telah disusun rapi. Benar kata Acil, semua orang akan mendapatkan yang diinginkan. Syaratnya hanya satu. Mau.
"Bang! Boleh aku salin ke buku, ya?"
"Iya! Tapi itu judulnya, PRESIDENKU?"
"Biarlah!"
Kau tahu? Keesokan harinya, setelah istirahat kedua. Acil mengajakku ke kantin. Wajahnya ceria, sambil menepuk pelan saku baju putihnya. Aku melihat bayangan uang di sana.