"Haha..."
"Padahal, belum pernah naik, kan?"
"Insyaallah, besok Tadzah!"
Aku pernah merasakan antusias itu. Bagi anak laki-laki di Curup, mendaki Bukit Kaba adalah salah satu pembuktian sebagai seorang lelaki. Mencapai puncak di ketinggian 1938 mdpl atau 6.358 kaki itu, adalah kebanggaan seumur hidup. Tentunya, selain keterampilan membuat dan memainkan layang-layang.
***
Sejak pukul enam di pagi minggu, Adzki sudah bersiap. Pun, tak ada rasa sungkan menjadi anggota paling kecil, saat bergabung bersama teman-temanku di basecamp.
Pukul tujuh. Saat matahari mulai naik dan perkiraan jalur pendakian tak begitu licin. Sepuluh orang anggotaku, bersiap memulai pendakian.
"Cek lagi, isi ransel Abang!"
"Sudah, Yah!"
Rombongan kupecah menjadi tiga bagian. Kelompok pertama menjadi pemandu sekaligus pengatur ritme pendakian. Kelompok kedua pembawa logistik dan alat kesehatan sederhana. Kelompok ketiga termasuk aku, adalah penyisir jalan buat menjaga sekaligus perawat anggota jika kelelahan atau ada barang-barang yang ketinggalan.
Dua jam, menelusuri jalur ke puncak Bukit Kaba. Tak ada pertanyaan, pun tak ada keluhan yang keluar dari mulut Adzki. Dengan ceria dan santai, menikmati jalur setapak pendakian. Aku tertawa, melihat Adzki seringkali berpindah kelompok. Hingga menjelang puncak, bertahan di kelompok terakhir bersamaku.