Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Panggil Aku Sesukamu!

22 November 2019   14:47 Diperbarui: 22 November 2019   14:54 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali, aku melihatmu. Sosok gadis remaja berseragam putih biru, dengan rambut legam panjang sebahu yang dikuncir satu. Sekilas senyummu menyapa mataku. Dua lesung pipit betah bersembunyi di pipimu, dan aku mengingat itu.

"Arin!"

Sekilas kau melirik padaku. Sedikit tertunduk, kau bergegas melangkah menuju sumber suara. Saat itu juga, pertama kali aku tahu dan mendengar nama indahmu. Dan kau pun tahu namaku. Saat kita berdua, kembali bersisian. Namun kali ini tidak duduk di kursi, tapi berdiri.

"Pinjam pulpen, Rin!"

Aku tahu kau terkejut, tapi menyerahkan pulpen di tanganmu padaku. Dan akupun tak peduli. Saat itu, aku harus mengisi formulir pendafaran. Sosok ibu berseragam batik yang duduk di hadapku, tersenyum sambil gelengkan kepala.

"Bagaimana mau sekolah? Kalau pulpen aja gak dibawa?"

"Kan, baru mendaftar, Bu?"

Jawaban spontanku, mengundang tawa. Kau juga ibu yang barusan bicara padaku. Aku belum tahu, apakah seorang guru atau karyawan sekolah

"Kenapa pilih sekolah ini?"

"Biar belajarnya di sini, Bu!"

"Maksud Ibu..."

"Oh! Alasannya? Biar satu kelas sama Arin!"

"Dia pacarmu?"

"Belum! Mungkin nanti."

"Di sekolah ini. Gak boleh pacaran!"

"Aku tahu! Hari libur, boleh kan?"

Suara tawa beberapa orang yang mendengar jawabanku, membuatmu malu. Aku mengingat wajah bersemu merah itu. Saat kau melangkah cepat menuju pintu. Meninggalkanku. Juga pulpen milikmu.

***

Kau, seperti lesung pipit yang sejak lahir betah bersembunyi di kedua pipimu. Dan aku seperti hantu bagimu. Selalu saja ada alasan bagimu menghindar dan menjauh dariku. Ragam kenakalan masa akhir remajaku hanya berlaku bagi orang lain. Tapi tidak terhadapmu. Hingga penasaranku terhenti. Saat teman-teman terdekatmu memberitahu. Kau suka padaku.

Bersisa tiga bulan menjelang ujian kelulusan, setelah nyaris tiga tahun berseragam putih abu-abu. Siang itu, menginjak tujuhbelas usiamu. Kuajak semesta bersekutu, menjadi pembuktian semua jawabanku saat mendaftar dulu. Bahwa kau akan menjadi milikku.

"Mas..."

Hanya satu kata. Namun sapaan itu, cukup bagitu sebagai jawaban. Kau masih menyimpan bisu. Saat kuputuskan, meninggalkanmu. Sendiri, terpaku berdiri di belakang ruang guru.

***

Seperti warna-warni pelangi. Kau dan aku menjaga bingkai rasa itu tetap utuh. Seperti butiran air hujan, yang tak pernah tahu di mana jauh perjalanan itu akan berujung. Kuracik kehidupan dengan keyakinan, dan kau meramunya dengan kepercayaan dan ketulusan.

Bagimu, tak ada yang melebihi sebuah keyakinan! Dan aku, butuh kepercayaan dan ketulusan darimu.

"Yang..."

Di angka duapuluh tiga usiamu. Kali pertama, kau tulis sapaan itu di suratmu. Akupun mulai terbiasa dengan kata itu. Karena selalu tertulis pada ratusan lembar suratmu untukku. Lima tahun! Dan surat itu adalah perekat, saat kau dan aku terpisah jarak dan waktu.

***

"Kenapa terlambat, Yang?"

Kau sudah menungguku di depan pintu. Kau sambut tangan kananku, kau ajukan ke dahi dan hidungmu, tangan kiriku mengusap pelan kepala. Tentu saja perutmu yang semakin besar. Aku tahu, kau tak butuh jawabku.

"Adeknya sudah mulai nakal, Yang!"

Kau duduk di sampingku. Segelas kopi, kau sajikan untukku. Tanpa aba-aba kau tarik tanganku, untuk mengusap perutmu. Aku tertawa. Namun segera berhenti, saat merasakan cubitan mautmu singgah di lenganku.

Kuubah posisi duduk menghadapmu. Perlahan kuusap perutmu. Dua tahun menunggu, hingga hadir anugerah itu.

"Jangan nakal, Nak!"

Kuabaikan tawamu. Aku tetap memasang wajah serius. Jemariku tak berhenti mengelus perutmu.

"Kasihan Ibu! Kan, capek membawamu kemana-mana?"

"Haha..."

"Kalau terlalu capek, Ibumu gak cantik lagi!"

"Yaaang..."

Plak!Pluk!Plak!Pluk!

Sore itu, ada bonus pukulan di bahuku. Bertahun, kau bertahan hidup bersamaku. Namun, kau tak pernah siap dengan ulahku atau ucapanku. Tawamu tak berhenti, saat aku masih saja mengelus perutmu. Menuntaskan misiku.

"Ibumu, tak bisa ditebak, Nak!"

"Haha.."

"Tapi kau pasti anak yang beruntung!"

"Eh! Kenapa, Yang?"

"Karena kau akan memiliki..."

Kalimatku terhenti. Mataku menatapmu. Kau diam menunggu. Kuhentikan elusan tanganku di perutmu. Kureguk kopi di hadapanku.

Sekarang kuusap kepalamu. Matamu menatapku. Aku tahu, kau tak lagi sabar menunggu. Kau genggam erat jemariku.

"Memiliki apa, Yang?"

"Nanti, Anakku panggil apa?"

"Ayah?"

"Oh! Panggilanku berubah lagi, ya?"

Plak!Pluk!Plak!Pluk!

Curup, 22.11.2019

zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun