"Oh! Alasannya? Biar satu kelas sama Arin!"
"Dia pacarmu?"
"Belum! Mungkin nanti."
"Di sekolah ini. Gak boleh pacaran!"
"Aku tahu! Hari libur, boleh kan?"
Suara tawa beberapa orang yang mendengar jawabanku, membuatmu malu. Aku mengingat wajah bersemu merah itu. Saat kau melangkah cepat menuju pintu. Meninggalkanku. Juga pulpen milikmu.
***
Kau, seperti lesung pipit yang sejak lahir betah bersembunyi di kedua pipimu. Dan aku seperti hantu bagimu. Selalu saja ada alasan bagimu menghindar dan menjauh dariku. Ragam kenakalan masa akhir remajaku hanya berlaku bagi orang lain. Tapi tidak terhadapmu. Hingga penasaranku terhenti. Saat teman-teman terdekatmu memberitahu. Kau suka padaku.
Bersisa tiga bulan menjelang ujian kelulusan, setelah nyaris tiga tahun berseragam putih abu-abu. Siang itu, menginjak tujuhbelas usiamu. Kuajak semesta bersekutu, menjadi pembuktian semua jawabanku saat mendaftar dulu. Bahwa kau akan menjadi milikku.
"Mas..."
Hanya satu kata. Namun sapaan itu, cukup bagitu sebagai jawaban. Kau masih menyimpan bisu. Saat kuputuskan, meninggalkanmu. Sendiri, terpaku berdiri di belakang ruang guru.