***
Seperti warna-warni pelangi. Kau dan aku menjaga bingkai rasa itu tetap utuh. Seperti butiran air hujan, yang tak pernah tahu di mana jauh perjalanan itu akan berujung. Kuracik kehidupan dengan keyakinan, dan kau meramunya dengan kepercayaan dan ketulusan.
Bagimu, tak ada yang melebihi sebuah keyakinan! Dan aku, butuh kepercayaan dan ketulusan darimu.
"Yang..."
Di angka duapuluh tiga usiamu. Kali pertama, kau tulis sapaan itu di suratmu. Akupun mulai terbiasa dengan kata itu. Karena selalu tertulis pada ratusan lembar suratmu untukku. Lima tahun! Dan surat itu adalah perekat, saat kau dan aku terpisah jarak dan waktu.
***
"Kenapa terlambat, Yang?"
Kau sudah menungguku di depan pintu. Kau sambut tangan kananku, kau ajukan ke dahi dan hidungmu, tangan kiriku mengusap pelan kepala. Tentu saja perutmu yang semakin besar. Aku tahu, kau tak butuh jawabku.
"Adeknya sudah mulai nakal, Yang!"
Kau duduk di sampingku. Segelas kopi, kau sajikan untukku. Tanpa aba-aba kau tarik tanganku, untuk mengusap perutmu. Aku tertawa. Namun segera berhenti, saat merasakan cubitan mautmu singgah di lenganku.
Kuubah posisi duduk menghadapmu. Perlahan kuusap perutmu. Dua tahun menunggu, hingga hadir anugerah itu.