"Terima kasih, Bu."
Ibu kepala sekolah tak memandangku. Sepertinya, pagi yang sibuk. Aku dengar beberapa kali bergumam tak jelas, sambil membolak-balikkan kertas dalam map hijau di hadapannya.
Kukira hampir sepuluh menit, tanpa ada percakapan. Mataku menyapu deretan foto-foto berukuran besar berbingkai warna emas, terpasang di dinding. Termasuk pemilik wajah yang duduk di hadapanku saat ini. Senyum manis dari wajah cantik dan tampak pintar. Terpasang dalam pigura sedikit berbeda dan masih terlihat baru.
Mataku terpaku menatap wajah Bu Anis. Ternyata, sosok guru yang disegani itu. Pernah menjadi kepala di sekolah ini. Aku kembali mengenang sosok teladan bagiku itu. Hingga kudengar suara bernada pertanyaan, diajukan padaku.
"Walinya Andi. Kelas satu, kan?"
"Iya, Bu!"
"Ini, kali ketiga dipanggil, ya?"
"Eh? Iya, Bu. Waktu itu uang sekolah..."
"Sumbangan! Bukan uang sekolah!"
"Iya, Bu!"
Lidahku tiba-tiba kaku. Wajahku memerah malu. Aku mengingat dua bulan lalu. Saat datang dan melunasi tunggakkan. Terserah jika itu disebut sumbangan. Bagiku itu tetap bermakna uang sekolah.