***
"Siapa yang memulai?"
Mata Bu Anis menghunjam manik mataku. Dan, aku lebih memilih sikap seperti semua anak-laki-laki yang berbaris di sampingku. Diam, menundukkan kepala dan berdiri tegak tak bergerak di depan kelas. Anak-anak perempuan, juga memilih sikap yang sama. Namun duduk manis di bangku masing-masing. Suasana kelas hening. Menunggu keputusan Bu Anis.
Pojokan lapangan bola, adalah tempat sempurna bagiku dan teman-teman berkumpul sepulang sekolah. Semua duduk melingkar di rerumputan, nyaris serentak membuka sepatu dan kaos kaki. Saling pandang dan bertukar tawa, seraya memamerkan betis masing-masing. Jejak-jejak tempelan mistar kayu sepanjang satu meter, menjadi keputusan sekaligus kenang-kenangan dari Bu Anis hari itu. Tak pernah ada pikiran untuk protes!
Semua penghuni kelas sadar. Selalu ada badai yang dituai, jika nekad menabur angin. Tujuan menunda pulang ke rumah hari itu, adalah bagaimana memar bekas mistar panjang itu singgah, tak diketahui orangtua. Atau risikonya, bakal ada bonus! Orang tua jadi malu, karena ke sekolah bukan untuk belajar, tapi dihajar!
***
"Masuk, Pak!"
Berjarak dua meter. Suara dari mulut wanita muda itu terdengar jelas. Dan mendahului masuk ke ruang kepala sekolah. Tak ada siapapun di bangku panjang itu. Aku mengerti, ajakan itu tertuju untukku.
Bergegas bangkit dari dudukku. Terburu membuka sandal, dan melangkah perlahan sambil berusaha tersenyum.
"Assalammu'alaikum!"
"Silahkan duduk!"