Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pulang

16 November 2019   17:25 Diperbarui: 16 November 2019   17:53 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Nyaris dua jam, langit menyajikan prosesi alam. Arakan awan hitam yang bergulung menjadi mendung. Melepaskan satu-persatu butiran hujan, melahirkan nyanyian sepi semesta. Menyapa penghuni jagat raya.

Pelangi seperti  jembatan, menjadi jalur penghubung perpindahan suasana. Ketika sinar matahari kembali mengetuk pintu hari. Untuk melaksanakan tugas yang sempat tertunda. Satu jam menjelang senja datang bertamu di beranda. Menemani kau, aku dan airmatamu.

"Satu tahun? Tak ada pilihan lain?"

***

Seperti pergantian hari yang acapkali tiba tanpa aba-aba. Begitu juga dengan rasa yang dimiliki manusia. Perubahan rasa adalah rahasia milik sang pencipta. Tak seperti perkiraan cuaca, tekadang tanpa warna, penuh dinamika. Bahkan lesatan perubahan rasa itu, mampu melebihi kecepatan cahaya.

Mungkin manusia belum menemukan alasan-alasan yang paling masuk akal. Atau tak mampu mencari, mendapatkan dan menyusun rangkaian kata-kata untuk menerjemahkan kehadiran sebuah rasa. Hingga memilih berlindung pada ungkapan rasa tak perlu logika.

Namun, manusia membutuhkan logika untuk membangun asa. Agar rancangan perjalanan masa depan, tak melewati jalan terjal berliku. Dan, tak dipenuhi ruang-ruang kosong yang berdebu.

Ketika pertempuran rasa bermuara pada perwujudan sebuah asa. Maka, manusia membutuhkan alam semesta sebagai sekutu. Agar rasa mampu bersatu dalam ikatan erat asa, yang menciptakan kekuatan cinta.

Adalah suatu kebohongan, jika menafikan kekuatan cinta sebagai senjata utama untuk menaklukkan kefanaan dunia. Juga adalah kebohongan, jika menganggap cinta adalah satu-satunya senjata untuk melakukan itu.

Butuh tekad baja dan daya tahan yag luarbiasa. Agar asa yang mengkristal dari perpaduan rasa, terangkum utuh dalam satu pelukan cinta.

***

"Jaga dirimu. Aku menunggumu!"

Malam itu. Aku mengingat kalimat terakhirmu. Tertera goresan tanganmu, di baris terakhir dari dua lembar kertas biru bersampul putih. Suratmu yang ketujuh untukku. Hanya satu balasan suratku untukmu.

Di langit malam, wajahmu bersanding dengan terang cahaya purnama. Malam purnama ketujuh, kau jauh dariku.

***

"Ini, Bang! Dari Nyonya Besar!"

Agus tersenyum, sambil menyerahkan sepucuk surat bersampul putih. Nyonya Besar, adalah julukan kehormatan untukmu. Sebelas bulan tinggal bersama di tengah samudera. Hanya hamparan luas lautan sebagai batas jarak pandang. Memaksa aku, Agus dan enam orang lainnya, saling bertukar cerita.

Mereka mengenalmu lewat ceritaku tentangmu. Mereka juga pernah melihat wajahmu, dari sebuah foto yang kusimpan di dompetku. Agar kurasakan, kau menemani. Pada setiap laju waktu yang kulalui.

Dua kali, perusahaan ekplorasi gas alam, tempat aku menyandarkan asa. Menawarkan kesempatan cuti untuk mengunjungi daratan, kuabaikan. Memilih bertahan mereguk pahitnya kerinduan, adalah cara terbaik. Kuyakini. akan terbayar tunai.

Menukar tawaran itu mengisi tabungan, adalah wujud nyata tekadku untuk memilikimu. Dan aku tahu. Setiap bulan, suratmu menggantikan hadirmu. Itu cukup bagiku.

***

"Aku pulang, Gus!"

"Iya, Bang!"

"Jaga dirimu, ya?"

Tak bersuara, Agus memelukku. Hanya aku dan Agus yang masih bertahan. Enam anggota lainnya selalu berganti. Seiring kebutuhan pada jenis keahlian dan alasan penyegaran. Satu tahun penuh bekerja sama di ruang dan waktu yang sama. Adalah sebuah pawaban dari pelukan Agus untukku.

"Nyonya Besar, udah tahu?"

"Kan, bulan lalu kukirim surat?"

"Lah? Kenapa tak dijadikan kejutan?"

"Ada yang lebih spesial untuknya!"

Senyum penuh makna tersaji di sudut bibir Agus. Sekali lagi memelukku, dan anggukkan kepala. Wajahku memandang heli yang sudah menunggu.

"Doa terbaik untuk Abang!"

"Terima kasih!"

"Kemungkinan akan badai, Bang!"

Wajah Agus memandang langit. Kemudian menatap wajahku. Aku tersenyum. Sekilas kutepuk bahu Agus, dan bergegas menuju helipad.

Terjangan badai hanya satu dari banyak onak duri yang telah kulewati. Bagiku, perjuangan dan pengorbanan selama ini, bukanlah untuk memenangkan pertempuran pada suatu kerinduan. Tapi mencari cara, agar kerinduan itu segera berakhir.

Anganku terbang mengirigi heli yang semakin menjauh dari rig pengeboran. Menyisakan satu titik hitam. Yang segera tertutupi oleh bentangan langit yang semakin pekat. Sepekat kerinduanku, untuk membingkai rasa dan asa. Atas makna cinta.

***

Senja baru saja berlalu. Aku kembali bertamu. Kali ini, tak ada sebaris senyuman yang menghiasi wajah cantikmu. Pun tak ada sajian secangkir kopi, jika aku datang untukmu. Seperti senja kemarin. Beranda  masih saja sepi. Hanya ada kau, aku dan sunyi.

Secarik kertas putih, tersimpan erat di genggaman kedua tanganmu. Aku tahu. Itu surat keduaku untukmu. Sebulan lalu, tergesa kutitipkan untukmu. Dua kata cukup mewakili pesanku untukmu.

"Tunggu Aku!"

Kuingin kau mengerti. Tak mungkin lagi kuusir kesunyian di beranda dengan kehangatan. Aku mengerti, tak lagi bisa jemari tanganku, menghapus airmatamu.

Namun kau dan aku percaya. Suatu saat nanti,pada satu titik terakhir persinggahan. Kau dan aku akan merasakan keabadian rindu.


Curup, 15.11.2019

zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun