Wajah Agus memandang langit. Kemudian menatap wajahku. Aku tersenyum. Sekilas kutepuk bahu Agus, dan bergegas menuju helipad.
Terjangan badai hanya satu dari banyak onak duri yang telah kulewati. Bagiku, perjuangan dan pengorbanan selama ini, bukanlah untuk memenangkan pertempuran pada suatu kerinduan. Tapi mencari cara, agar kerinduan itu segera berakhir.
Anganku terbang mengirigi heli yang semakin menjauh dari rig pengeboran. Menyisakan satu titik hitam. Yang segera tertutupi oleh bentangan langit yang semakin pekat. Sepekat kerinduanku, untuk membingkai rasa dan asa. Atas makna cinta.
***
Senja baru saja berlalu. Aku kembali bertamu. Kali ini, tak ada sebaris senyuman yang menghiasi wajah cantikmu. Pun tak ada sajian secangkir kopi, jika aku datang untukmu. Seperti senja kemarin. Beranda  masih saja sepi. Hanya ada kau, aku dan sunyi.
Secarik kertas putih, tersimpan erat di genggaman kedua tanganmu. Aku tahu. Itu surat keduaku untukmu. Sebulan lalu, tergesa kutitipkan untukmu. Dua kata cukup mewakili pesanku untukmu.
"Tunggu Aku!"
Kuingin kau mengerti. Tak mungkin lagi kuusir kesunyian di beranda dengan kehangatan. Aku mengerti, tak lagi bisa jemari tanganku, menghapus airmatamu.
Namun kau dan aku percaya. Suatu saat nanti,pada satu titik terakhir persinggahan. Kau dan aku akan merasakan keabadian rindu.
Curup, 15.11.2019