"Jaga dirimu. Aku menunggumu!"
Malam itu. Aku mengingat kalimat terakhirmu. Tertera goresan tanganmu, di baris terakhir dari dua lembar kertas biru bersampul putih. Suratmu yang ketujuh untukku. Hanya satu balasan suratku untukmu.
Di langit malam, wajahmu bersanding dengan terang cahaya purnama. Malam purnama ketujuh, kau jauh dariku.
***
"Ini, Bang! Dari Nyonya Besar!"
Agus tersenyum, sambil menyerahkan sepucuk surat bersampul putih. Nyonya Besar, adalah julukan kehormatan untukmu. Sebelas bulan tinggal bersama di tengah samudera. Hanya hamparan luas lautan sebagai batas jarak pandang. Memaksa aku, Agus dan enam orang lainnya, saling bertukar cerita.
Mereka mengenalmu lewat ceritaku tentangmu. Mereka juga pernah melihat wajahmu, dari sebuah foto yang kusimpan di dompetku. Agar kurasakan, kau menemani. Pada setiap laju waktu yang kulalui.
Dua kali, perusahaan ekplorasi gas alam, tempat aku menyandarkan asa. Menawarkan kesempatan cuti untuk mengunjungi daratan, kuabaikan. Memilih bertahan mereguk pahitnya kerinduan, adalah cara terbaik. Kuyakini. akan terbayar tunai.
Menukar tawaran itu mengisi tabungan, adalah wujud nyata tekadku untuk memilikimu. Dan aku tahu. Setiap bulan, suratmu menggantikan hadirmu. Itu cukup bagiku.
***
"Aku pulang, Gus!"