Kau bolak balik. Ke bawah temui Amak, Kemudian menyusulku di beranda. Lebih dari tiga kali seperti itu. Kuanggap biasa prilakumu.
Aku masih fokus selesaikan naskah soalku. Hingga kau duduk di sebelahku. Tak bersuara. Hanya menatapku. Aku tertawa.
"Kenapa mirip setrikaan?"
"Haha..."
"Malah ketawa!"
"Coba tadi, Nik bawa buku juga, ya? Biar bisa buat soal juga!"
"Lah?Jadual ujian kapan?"
"Seminggu sebelum lebaran!"
"Oh! Mas mesti setor besok! Gak enak sama teman di Tata Usaha, kalau telat!"
"Nik tahu!"
"Kok bisa?"
"Nik tak dianggap ada!"
Kuacak kepalamu. Sambil tertawa, kau pasang muka kusut. Tak bertahan lama. Tanpa aba-aba. Jarimu beraksi, merambat sadis di lenganku.
"Kenapa cubit?"
"Biar!"
"Alasannya?"
"Gak ada!"
"Besok-besok, kalau mau cubit. Pakai alasan! Biar Mas ikhlas!"
"Haha..."
Kuteruskan membaca buku paket. Bersisa satu naskah soal. Duapuluh butir pilihan ganda, dan lima soal essay. Kau rebut pena dari tanganku. Aku terkejut.
"Eh?"
"Biar Nunik yang nulis! Mas bacakan aja soalnya!"
"Tinggal satu kelas! Biar Mas..."
"Setengah dua belas! Pesan Amak. Bentar lagi mau jum'atan!"
 Kau tersenyum. Meraih buku besar di tanganku. Kau menatapku menunggu. Bersiap menulis. Kuikuti maumu. Sambil menyusun dan mendikte soal, aku menatapmu. Kau tekun menulis ucapanku.
Ingatanku kembali. Saat aku juga kau, selesaikan skripsi. Tapi posisi dibalik. Kau yang membaca, aku yang mengetik. Tiga tahun berlalu. Tak sadar, kuusap kepalamu.
"Kenapa, Mas?"
"Apa?"
"Pegang kepala Nunik?"
"Oh! Soal terakhir, kan?"
"Udah cukup! Essay lima, kan?"
Kau ajukan buku di tanganmu. Kulihat tulisan tanganmu. Soal terakhir, sudah di angka lima. Kubolak balik halaman buku paket.
"Tulis aja satu soal cadangan!"
"Lah?"
"Kalau topik yang sama udah ada di pilihan ganda! Mas tinggal ganti!"
"Kan gak masalah?"
"Iya! Tapi bohongi siswa! Itu bukan soal ujian, tapi tebak-tebakan!"
"Haha..."
"Mau tulis?"
"Apa?"
"Bagaimanakah cara..."
"Bagaimana apa, Mas?"
Wajahmu serius, matamu menatapku. Aku berusaha tenang. Kurasa tak bisa. Akhirnya tertawa. Kau heran. Tapi tetap menunggu kalimatku.
"Apa tadi, Mas?"
"Bagaimanakah..."
"Udah!"
"Cara..."
"Terus?"
"Menikahi..."
"Hah!"
"Kenapa?"
"Ini pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Mas!"
"Topiknya, cara menentukan warga negara seseorang, kan?"
"Iya! Terserah Mas! Terus, menikahi..."
"Menikahimu?"
Aku tersenyum. Kau kembali menulis. Kemudian terdiam. Dahimu berkerut. Sesaat menatapku. Beralih ke buku di tanganmu. Kukira. kembali kau baca tulisan tanganmu.
Segera kau angkat wajahmu. Aku sangat hafal gelagat itu. Segera bersiap. Tapi terlambat!
Plak!Pluk!Plak!Pluk!
get married | those three words | just the way i am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H