"Hallo?"
"Salam, Bu! Bisa bicara ke Nunik?"
"Oh! Udah ditunggu dari malam tadi! Sebentar, ya?"
Senyap di ujung telpon. Mesti menunggu. Aku berjanji padamu, jika tak jadi datang. Aku menelponmu malam. Pagi itu jum'at, lewati beberapa menit dari angka enam. Kudengar gagang telpon diangkat.
"Mas?"
"Iya!"
"Bilang Mas, nelpon tadi malam? Kenapa gak jadi? Padahal..."
Suaramu terputus. Letusanmu meluncur deras. Kurasa, ada emosi tertahan pada nada suaramu. Hening di ujung telpon.
"Nik?"
Masih senyap. Deru nafasmu terdengar. Sepagi itu, tangismu hadir karenaku.
"Hallo? Nunik?"
"Iya..."
"Nangis?"
"Nik tunggu sampai jam sepuluh! Mas gak nelpon! Tapi Nik mengerti kalau..."
"Masak air, mau?"
"Hah?"
"Air panas, ada?"
"Masak air? Air panas?"
"Mas belum ngopi!"
Tak lagi menunggu jawabmu. Segera kututup telpon. Keluar dari wartel. Berjalan cepat, telusuri Jalan Cendrawasih. Berjarak seratus meter dari rumah kostmu.
Riuh terdengar dari arah beranda. Saat kumasuki pintu pagar. Beberapa teriakan memanggil namamu. Ibu kost tersenyum. Menyambut salamku. Juga beberapa teman satu kostmu.
Kulihat, kau hadir sesaat di pintu. Tanpa jilbab. Namun segera lenyap, menyisakan tawa Teman-temanmu melihat panikmu. Satu-persatu pun segera masuk ke rumah. Tersisa ibu kost. Temaniku duduk di beranda.
"Dari Curup, kan?"
"Iya, Bu!"
"Kenapa kurus? Sakit?"
"Iya..."
"Hah! Sakit apa? Kenapa Nunik gak cerita?"
"Sakit rindu?"
Ibu kost tertawa. Tetiba berdiri. Aku jadi tahu, kau sudah keluar dari pintu. Di tanganmu ada satu gelas berkopi. Kau tundukkan wajah. Saat ibu kost menggodamu. Gelas berkopi. Diletakkan ke hadapku. Kau duduk di sampingku.
Kuajukan tangan. Ajak bertukar salam. Kau bawa tanganku ke dahimu. Terasa lama dan basah. Kuusap kepalamu. Kau tak bicara
"Jangan ditahan! Menangislah!"
Perlahan, kau lepas tanganku. Kubiarkan, kau lalui alur rasamu pagi itu. Kunyalakan dan nikmati rokok. Dalam diam, kutatap wajahmu. Kau tak membalas tatapanku. Pun, tak kau tutupi beningmu. Beberapa saat, beranda bernuansa sunyi.
Plak!Pluk!Plak!Pluk!
Bertubi pukulan, disusul cubitan. Hadir di bahu dan lenganku. Tangismu bercampur tawa. Beningmu masih bersisa di sudut matamu. Aku tertawa. Kau menatapku.
"Kenapa gak bilang?"
"Nik rindu?"
"Kenapa Mas..."
"Iya, kan?"
"Gak!"
"Ya udah! Mas pulang?"
"Iiih..."
Aku baru tahu. Cubitmu pun rindu lenganku. Juga mengerti. Kau tak butuh jawabku. Kau ingin hadirku. Kuusap beningmu. Wajahmu merah saga. Segera melirik ke pintu juga jendela. Aku tertawa. Tahu, kau khawatir, jika ada yang melihat ulahku. Kau raih gelas di meja. Kau ajukan padaku.
"Minum, Mas!"
Kuraih gelas di tanganmu. Kureguk kopi. Aku tersenyum menatapmu. Sambil garuk kepala. Kau tertawa.
"Nik campur air dingin! Biar langsung bisa diminum!"
"Udah tahu!"
"Hah?"
"Gak ada asapnya!"
"Kenapa tadi gak langsung..."
"Belum ditawari, kan?"
Kau tertawa. Tak lagi bersisa tangismu. Kembali kureguk kopi. Kuserahkan gelas padamu. Sesaat kau menatapku. Segera kau reguk sedikit. Aku tertawa. Keningmu berkerut.
"Nik minta kopi Ibu kost"
"Haha..."
"Sejak Mas pergi. Nik gak pernah lagi beli!"
"Oh!"
"Mas tadi langsung tutup telpon!"
"Lah?"
"Nik kaget! Juga bingung! Mas ngomongnya aneh!"
"Haha..."
"Nik buat lagi. ya?"
Kau bersiap berdiri. Segera kutarik lenganmu, agar duduk lagi. Kuacak kepalamu. Kau menatapku. Kugelengkan kepala. Kau Nunikku. Bersedia menghimpun rasa bersalah di pundakmu.
"Nanti ibu kost tersinggung!"
"Tapi Mas gak..."
"Itu, dalam Tas. Mas bawa kopi Curup!"
getmarried | amanoftheworld | justforyou | thosethreewords | justhewayiam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI