Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Those Three Words" [6]

26 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 26 Agustus 2019   08:33 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bis kampus berhenti di halte jalan Sudirman. Kau dan aku turun. Agak lama menunggu. Hingga bis jurusan Lubuk Buaya via Khatib Sulaiman berhenti. Kau dan aku segera naik. Duduk bersisian dalam diam. Tapi tanganmu, merengkuh lenganku.

Cuaca mendung. Belum hujan jelang senja. Medio oktober. Bis berhenti di Simpang Tunggul Hitam. Berdua, berjalan melusuri jalan Cendrawasih.

"Hampir maghrib. Mas ke masjid dulu!"


Tak bersuara. Kau anggukkan kepala. Hingga aku berbelok menuju masjid. Kau lanjutkan langkahmu. Pulang ke rumah.

Nyaris setengah jam. Kuucap salam di beranda. Suaramu terdengar, menjawab salam dan meminta duduk. Agak lama, kau hadir. Sudah berganti baju. Di tanganmu ada segelas kopi. Kau ajukan di atas meja, tepat ke hadapku. Segera duduk, kau tundukkan kepala. Saat aku menatapmu.

"Nangis?"


Tak ada jawabmu. Kau raih dan ajukan gelas padaku. Berusaha tersenyum. Tapi bias merah di kelopak matamu, tak bisa kau sembunyikan. Suaramu bergetar tertahan.


"Minum, Mas!"

"Kenapa?"


Kuraih gelas berkopi di tanganmu sambil ajukan tanya. Kau sandarkan tubuh. Dua telapak tangan, tutupi wajahmu. Kureguk kopi, kuletakkan gelas di meja. Menyalakan sebatang rokok. Kunikmati senja dengan diam. Di antara gerimis dan tangis.


Kau dan aku biarkan sunyi. Bunyi gemericik titik hujan. Iringi malam, pengganti senja. Tetiba kau raih tanganku.

"Maafkan Nunik, Mas!"

"Untuk?"

"Nik..."

"Kenapa?"

"Akan bersama Mas. Sampai kapan pun!"

Tak lagi kau tutupi, wajahmu juga tangismu. Kau biarkan bulir itu. Basahi dan ikuti alur pipimu. Lekat kutatap wajahmu. Ada sesuatu yang tak kumengerti. Berkali kau ingin. Malam itu. Mulutmu berucap, kalimat bermakna janji.

Kuusap pelan kepalamu. Kureguk kopi dalam diam. Kubiarkan kau tenangkan rasamu. Kuulangi kejadian sejak pagi. Tak banyak. Waktu kau dan aku untuk bicara. Lebih banyak waktumu, bersama Amak juga Abak. Hingga kau kuantar pulang.


Aku menunggu berhenti tangismu. Hingga kau angkat wajahmu, menatapku.

"Sudah?"


Kau usap matamu. Aku diam. Menatapmu lama. Hingga cubitmu hadir di lengan kiriku. Kau tersenyum. Plak! Tak puas, kau pukul bahuku.


"Lah?"

"Mata Mas itu..."

"Kan bisa bilang? Malah mukul!"

Plak! Plak! Plak!

 

Aku tertawa. Nunikku kembali! Kau ajukan dua telapak tanganmu ke hadapku. Menghalangi mataku menatapmu. Kuacak kepalamu. Kau tertawa.

"Kalau Mas tanya. Mau jawab?"

"Tapi, Mas..."

"Mau atau tidak?"


Kau terdiam menatapku. Matamu mencari tahu. Perlahan anggukkan kepala. Kuubah posisi duduk ke hadapmu.


"Kenapa minta maaf?'

"Gak tahu!"

"Hah?"

"Nik pengen aja!"

"Minta maaf tapi gak..."

"Biar!"


Lalu waktu telah ajari aku. Kau perempuanku. Tiga jawaban singkatmu. jadi isyarat. Tak ada lagi jawabmu untukku. Anggukkan kepala. Aku tersenyum. Kau tidak.


"Saat di Bis. Waktu pulang dari kampus. Nik mau nangis, kan?"

"Mas..."

"Kenapa?"

"Jangan tanya lagi, ya?"

zaldychan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun