Kau nikmati alur rasamu. Selepas ashar, keluar dari masjid. Kau ajak telusuri trotoar. Berjalan pelan di bawah rindang pepohonan tepi jalan. Kukira, cuaca dan udara sore itu bersekutu denganmu. Berkali, terpaksa kuabaikan klakson sopir atau ajakan pulang dari kondektur bis kampus.
Butuh ratusan meter. Lalui lajur kiri jalan menurun. Dari simpang tiga rektorat hingga tiba di gerbang. Dua lajur jalan, dipisahkan tugu selamat datang. Dinding keramik setinggi satu setengah meter. Berwana hitam berhuruf kapital corak keemasan. Terpampang tulisan "UNIVERSITAS ANDALAS".
Kau tarik tanganku. Mengajak duduk di tugu itu. Lima tahun, kulalui gerbang. Dan berkali alami demo bus kampus, bersebab kenaikan BBM. Hingga harus berjalan kaki, mencari angkot di luar gerbang atau semasa reformasi. Tak sekali pun, terpikir untuk duduk di situ. Aku tertawa.
"Kenapa?"
"Mas belum pernah duduk di sini!"
"Haha..."
Gantian, kau nikmati tawamu. Tak terlihat lelah di wajahmu. Kunyalakan rokok. Kau edar matamu menatap ke arah kanan. Ada sungai kecil, tempat pencucian bus kampus. Juga ada warung nasi sederhana. Dipenuhi bus yang antri. Tempat sopir atau kondektur bus beristirahat makan siang atau sekedar minum kopi. Kuikuti arah pandangmu. Kau tepuk lenganku.
"Mas! Itu teman Mas, kan?""
"Iya! Mau ke situ?"
"Gak!"
"Biar gratis?"
"Gak mau!"
"Nik gak haus? Jalan kaki dari atas?"
"Tapi, lelaki semua!"
"Istri pemilik warung?"
"Nik minum di warung Bude aja!"
Kau tersenyum. Kukira kau lupa. Tak lagi bicara. Aku berdiri. Kau ikuti langkahku. Kembali telusuri jalan. Menjauh dari gerbang. Hingga kuhentikan bis kampus. Nyaris penuh. Tak satupun kukenal. Kukira mahasiswa masih semester awal.
Tersisa bangku kosong di posisi paling belakang. Tapi, sudah berisi tiga orang mahasiswi, yang bergeser memberi ruang duduk padamu. Kulihat saling bertukar senyum. Kau segera duduk. Aku mesti berdiri. Bergantung di pintu. Bis bergerak pelan. Meninggalkan gerbang.
Sejak tadi, tiga mahasiswi di sampingmu sibuk bercerita dan tertawa. Kau hanya diam. Sesekali tersenyum menatapku. Hingga bis bergerak melewati Pasar Raya. Aku bergerak mendekat ke arahmu. Matamu menatapku heran. Termasuk tiga pasang mata di sebelahmu. Kuajukan tanya. Pada satu mahasiswi yang suaranya mendominasi.
"Adek Fakultas apa?"
"Ekonomi, Bang!"
"Semester?"
"Empat!"
"Kenal Bude Yuli?"
"Hah?"
"Pemilik warung soto di jalan Permindo?"
"Gak!"
"Istriku ngidam! Sejak pagi mau soto!"
Plak!
Pukulanmu singgah di bahuku. Aku diam. Tiga pasang mata di sebelahmu, saling bertukar pandang sambil menahan senyum. Wajahmu memerah. Aku tak lagi bicara. Termasuk tiga mahasiswi di sebelahmu. Segera kuhentikan bis di depan toko buku Sari Anggrek.
Kau dan aku turun. Diikuti tiga pasang mata yang penasaran. Bus kampus berlalu. Cubitmu tiba di pinggangku. Aku tertawa. Kau berusaha menahan tawa. Namun gagal.
"Sembarangan!"
"Apa?"
"Bilang Nik ngidam?"
"Yes!"
"Hah? Kenapa bilang yes?"
"Artinya, Nik ngaku jadi istri Mas, kan?"
Terburu. Tak kuberi peluang. Tangan kiriku menarikmu, seberangi jalan. Kuabaikan rona wajahmu. Kau ikuti langkahku. Warung bude sudah buka. Masih sepi. Kukira baru selesai memasang terpal. Berjarak sepuluh meter, kuhentikan langkah. Kau berdiri. Matamu menatapku. Menunggu.
"Nanti tanyakan nama Bude, ya?"
"Tadi bilang Mas, namanya Yuli?"
"Itu nama Ni Yul!"
"Hah?"
"Iya! yang di Dekanat"
"Kenapa tadi Mas bilang pemilik warung soto?"
"Siapa tahu sama!"
"Mamaaas..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H