Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | " A Man of The World" [14]

25 Juli 2019   08:15 Diperbarui: 5 Agustus 2019   14:39 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Bus kampus lewati gerbang Unand. Berhenti sesaat di Simpang Pasar Baru. Naikkan penumpang. Bergerak lagi, hingga harus berhenti lampu merah jalan by pass. Sejak tadi, kau dan aku diam. Hingga dari speaker bis kampus. Terdengar lagu "suara hati-nya" Nike Ardilla. Versi remix. Spontan, kau dan aku bertukar pandang.


"Mas ingat lagu ini?"

"Isi surat Nunik, kan?"

"Tapi remix! Nik gak suka!"

"Lima tahun! Pasti berubah."

Kau terdiam. Lampu hijau. Bis bergerak pelan. Kunikmati setiap lirik dari lagu itu. Hingga bis kuhentikan di Simpang Anduring. Kau dan aku turun. Dua tas besar, kembali tergeletak di pinggir jalan. Aku diam. Sesaat berfikir. Kau menungguku.


"Makan, yuk? Di tempat biasa aja, ya?"

"Iya."

"Nik pesan dulu. Mas angkat tas ini, sekalian ganti baju. Mau?"

"Gak!"

"Lah? Kenapa?"

"Nik ikut Mas!"

"Tapi..."

"Biar Nik bantu bawa tas sandang!"

"Berat! Cuma..."

"Nik ikut!"

Aneh! Dalam hitungan menit. Rasa dan sikapmu beda. Aku tersenyum. Kau tidak. Kulepas tas sandang, kuserahan padamu. Tak ada reaksi di wajahmu. Saat tas sandang berpindah tangan. Kupanggul sekaligus, dua tas besar. Tak bersuara, tak juga menunggu. Perlahan berjalan masuki gang masjid. Kau di belakangku.

Bajuku basah oleh keringat. Akibat terik jam satu, matahari kota padang. Kuturunkan dua tas hitam, saat kucapai pintu rumah. Nafasku sesak. Kubuka pintu rumah. Kupindahkan tas ke dalam kamar.


Agak lama. Kau belum juga muncul. Aku segera ke kamar mandi segarkan diri. Berganti baju, bahan kaos dan celana jeans. Dua suara perempuan sudah kukenal, ucapkan salam. Aku keluar kamar sambil menjawab salam. Kau dan Uni warung, biasa kupanggil begitu. Pemilik warung depan rumah kost. Sudah di ruang tamu.

Tak perlu diminta, kau letakkan tas di meja tamu. Dua botol air mineral, kau keluarkan dari kantong plastik warna hitam. Kau duduk. Uni warung tetap berdiri. Tersenyum menatapku. Aku diajak bertukar salam.


"Nunik cerita! Selamat, ya?"

"Makasih, Uni!"

"Kenapa gak bilang?"

"Maaf! Lupa, Ni!"

"Alasan!"

"Iya!"

"Uni ke warung lagi. Selamat, lagi!"

"Makasih lagi, Ni!"


Sisakan senyum. Uni warung berlalu. Perempuan sebaya Uni tertuaku. Asli Tarusan sebelahan kampong dengan Amak di Pesisir Selatan. Memiliki dua anak. Satu usia SD satunya lagi SMP. Jika terbentur PR, keduanya datang padaku. Entah di momen apa. Uni warung rutin kirimkan masakan.


Di awal dulu, kuduga karena bertetangga. Atau sekampung dengan Amak. Atau barteran urusan PR. Tapi lima tahun berlalu. Uni warung masih tetap begitu. Maka, kuanggap Uni warung itu pengganti sementara. Uni tertuaku di rantau.


Aku duduk di sisimu. Kau ajukan, satu botol air mineral. Aku tersenyum. Kuraih dan kubuka tutupnya, kuserahkan padamu. Sesaat kau menatapku. Kuanggukkan kepala. Kau reguk air di botol.


"Nik mau beli. Tapi Uni gak mau dibayar!"

"Haha..."

"Nik ambil satu! Malah ditambah satu lagi!"

"Oh!"

"Orang baik ya, Mas?"

"Iya! Tempat Mas bon rokok. Terkadang gula, kopi, mie..."

"Haha..."

"Gak pernah dicatat!"

"Hah?"

"Mas hitung sendiri!"

"Uni percaya?"

"Nunik enggak?"


Kau terdiam. Aku tertawa. Kuraih botol di tanganmu. Tak ada reaksimu, hanya menatapku. Kureguk isi botol. Kau masih diam. Aku masuk ke kamar mengambil rokok. Duduk lagi di sebelahmu. Nyalakan sebatang rokok. Kuputar badan menghadapmu.

"Kenapa diam? Eh! Jangan..."


Aku telat! Cuaca panas Kota Padang, jadi berbeda di ruang tamu. Aku tak tahu. Berapa lama kau menahan itu. Kau sandarkan tubuhmu di kursi. Kulihat mata air matamu. Takkan kutanya sebab. Kunikmati asap rokokku. Kubiarkan tangismu dalam diamku.


Laju waktu berlalu. Sejak tadi berhenti tangismu. Masih senyap di ruang tamu. Kuraih rokok kedua untuk kunyalakan. Tetiba kau rebut rokok dari mulutku. Aku terkejut menatapmu. Kau gelengkan kepala.


"Kenapa?"

"Sejak pagi. Udah banyak!"

"Daripada diam? Nungguin Nunik nangis gak jelas?"


Kau masukkan rokok ke dalam kotak. Kau simpan dalam tas kecilmu. Kau menatapku. Nyaris berbisik, kudengar ucapanmu.


"Nik juga ucapkan selamat dan terimakasih, Mas!"

"Untuk?"

"Semuanya..."


Aku mengerti arah ucapanmu. Harus kuhentikan. Agar tangismu tak kembali hadir. Hari itu milikku tapi untukmu. Kau menatapku. Awan hitam masih berkumpul di kelopak matamu. Aku tersenyum. Kuusap pelan kepalamu.


"Makan, yuk?"

#Nik

#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun